10 - Sebuah Jawaban

557 100 63
                                    

Gilang menolak ke rumah sakit. Ia hanya meminta Alea membantu membersihkan lukanya. Sekarang mereka berada di taman kota, setelah sebelumnya mampir ke apotek membeli cairan pembersih luka, kapas, betadine, dan plester luka.

Gilang meringis ketika Alea mulai mengusapkan kapas yang telah dibasahi cairan anti bakteri ke luka-lukanya.

"Lo kenapa nggak bilang itu pestanya Aira?"

"Kalau gue bilang, lo pasti nggak mau ikut."

"Tapi kejadiannya nggak akan kayak gini." Alea menuang lagi cairan pembersih ke kapas di tangannya.

"Kalau dengan bonyok gini lo jadi perhatian, gue rela, kok."

Gerakan tangan Alea berhenti, lalu menggantung di udara ketika Gilang menikamnya dengan tatapan penuh makna. Alea ingin berpaling, tapi susah.

"Gue nggak akan nyuruh lo belah dada gue biar bisa percaya, itu terlalu mengerikan." Gilang menyingkirkan kapas yang terapit di jemari Alea, lalu meletakkan tangan itu di dadanya. "Tapi coba rasakan ini, adakah detak keraguan?"

Alea bisa merasakan debaran jantung Gilang, yang sebenarnya tidak seberapa dibanding debaran jantungnya sendiri.

"Gue serius sayang sama lo, meski cara gue menyampaikannya mungkin terlihat main-main."

Alea menarik tangannya. "Jangan ngaco!" lalu pura-pura sibuk mengambil kapas baru dan kembali membasahinya dengan cairan pembersih.

Kali ini Gilang benar-benar kesakitan, sebab Alea melakukannya tak selembut tadi.

"Nanti lo nganterin pulang sampai pagar aja, ya. Nggak usah masuk."

"Kok...?"

"Kalau Mama lihat lo bonyok gini, bisa panjang urusannya. Lo nggak mau, kan, izin keluar sama lo diblokir sama Mama?"

Gilang manggut-manggut. "Terus, jawaban lo?"

"Muka bonyok gini masih mikirin cinta." Alea bersungut sambil memasang plester luka di ujung alis kiri Gilang.

Gilang tersenyum geli. Ia paham betul, cewek di depannya ini sedang berjuang keras mengatasi salah tingkah, yang sepertinya kurang berhasil.

***

Gilang ingin masuk, tapi teringat perkataan Alea tadi. Lebih baik menurut kali ini, daripada izin keluar Alea diblokir. Ia memegang pagar besi rumah Alea yang hanya setinggi dada, sambil memerhatikan langkah kecil cewek itu yang membawanya perlahan-lahan menjauh.

Selangkah lagi tiba di teras, tiba-tiba Alea berbalik, tampak ragu-ragu sebelum akhirnya menegakkan kepala dan mempertemukan tatapannya dengan Gilang.

"Thanks untuk malam ini."

"Karena gue bonyok?" Gilang menunjuk wajahnya, lalu terkekeh.

Alea mulai menyukai sepasang mata Gilang yang nyaris berupa garis saja ketika terkekeh seperti itu.

"Lo bonyok karena tidak terima cowok tadi ngatain gue. Jujur, gue terharu." Intonasi suara Alea sangat berbeda kali ini, ada sedikit getaran di ujungnya. Hal itu memaksa Gilang menghentikan kekehannya. Menyadari telah berbuat sesuatu yang bernilai di mata Alea, tiba-tiba Gilang merasakan hatinya dihuni ribuan kupu-kupu, penuh warna.

"Lo masih nunggu jawaban, kan?"

Deg!

Gilang yakin, sekian detik jantungnya berhenti berdetak. Tanpa sadar ia mencengkram pagar besi di depannya lebih kuat. Ia butuh pegangan lebih dari sekadar pagar jika Alea menolaknya.

"Ya!"

"Ya?" Gilang mengernyit.

Alea mengangguk.

"Lo, gue ...?"

Rahasia Idola [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang