Fix, Alea akan menghabiskan jam istirahat di perpustakaan hari ini. Sepertinya Ratih masih tidak ingin diganggu, ia menghilang entah ke mana. Sedang Delon lagi latihan dengan tim futsalnya.
Dalam hening khas ruang perpustakaan, Alea berusaha menikmati bacaannya dengan pikiran yang sebenarnya sedang tidak cocok diajak membaca. Alea menyadari kehadiran seseorang mengisi bangku kosong di seberang meja di depannya. Dan tanpa melirik, Alea tahu, itu Gilang. Alea mengutuk kemampuannya yang terlalu cepat mengenali aroma tubuh cowok itu.
"Gue pilih nomor dua," ucap Alea tanpa mengalihkan pandangan dari halaman buku yang terbuka di depannya. Ia pikir Gilang akan menagih soal option kover tadi pagi.
"Nggak sopan, kali, bicara sama orang tanpa menatap matanya." Kalimat barusan memaksa Alea menegakkan kepala dan mempertemukan tatapannya dengan tatapan Gilang. Tatapan hangat, seolah dari sanalah matahari terbit setiap pagi. Cewek mana pun pasti betah berlama-lama dengan tatapan itu. Termasuk Alea sebenarnya. Hanya saja ia belum menemukan cara yang tepat untuk menikmatinya.
"Tahu dari mana gue di sini?"
"Entah kapan Tuhan menganugerahi kemampuan ini, atau mungkin semacam kutukan. Yang jelas, akhir-akhir ini gue ngerasa jadi semut, yang selalu mampu menemukan senyum semanis senyummu."
Alea melongo, lalu bergidik. Sumpah, itu gombalan tergeli yang pernah didengarnya. Tapi tunggu, Gilang menggombalnya? Menyadari hal itu, Alea tersipu. Ia mengangkat bukunya tinggi-tinggi demi menutupi rona wajahnya.
"Kirain lagi belajar, tahu-tahunya baca novel." Gilang terkekeh.
Alea cepat-cepat menurunkan bukunya lalu menempelkan telunjuk di depan bibir. Jangan berisik!
Alea sedang menoleh kiri-kanan, memastikan tidak ada yang terusik dengan kekehan barusan ketika Gilang tiba-tiba meraih kedua tangannya dan menggenggamnya. Sesaat Alea beku, terlebih saat sorot mata Gilang berubah. Tidak ada tatapan jail dan sok imut di sana, berganti semakin hangat dan menenangkan. Hal itu seketika mengacaukan aliran oksigen di tubuh Alea. Ia menarik napas pendek-pendek.
"Gue mampu menulis ribuan bait puisi, tapi lenyap seketika jika harus gue ucapkan di depan lo. Karena perasaan gue bukan sesuatu yang butuh dimanipulasi, tidak perlu dimanis-maniskan. Ini kesungguhan!" Gilang menarik napas panjang, memastikan paru-parunya menampung oksigen yang cukup. "Gue sayang sama lo!" pungkasnya kemudian, masih dengan tatapan yang seolah memetakan kesungguhan.
Alea lekas meleraikan tangannya dari genggaman Gilang. "Maksud lo?"
Gilang mengernyit. "Lo mampu ngulas novel yang tebalnya bisa dijadiin bantal, tapi gagal paham dengan kalimat sependek tadi?" tukasnya.
Itu memang pendek, tapi reaksinya dahsyat.
"Lo belum punya pacar, kan? Gue boleh, dong ngajuin diri."
Seenteng itu? Demi apa seorang Gilang Rendra, penulis buku puisi best seller, nembak cewek di perpustakaan?
"Gue sadar, tempatnya mungkin memang kurang pas. Tapi kalau bukan di sini, di mana lagi? Jangankan jalan, berangkat bareng ke sekolah aja, kamu nolak," tutur Gilang yang seolah mampu membaca pikiran Alea.
Seluruh kosakata menghilang di benak Alea. Ia hanya ingin menghilang dari hadapan Gilang secepatnya. Untunglah, bel pertanda jam istirahat berakhir berdering—menyelamatkannya.
Gilang mengerang pelan, mengutuk suara bel barusan.
Alea gesit merapikan buku-bukunya, lalu melangkah panjang-panjang meninggalkan ruang perpustakaan.
"Jam pulang nanti gue tunggu di parkiran. Kalau lo nolak pulang bareng, berarti lo juga nolak gue. Tapi kalau lo mau, artinya gue masih punya harapan."
Alea tidak berhenti, tapi sengaja memelankan langkah demi memberi kesempatan kepada Gilang untuk menuntaskan kalimatnya. Dan ia benar-benar menyesal telah mendengarnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rahasia Idola [TERBIT]
Fiksi Remaja📖 Sudah diterbitkan oleh BPI dengan judul "My Real Boy". Tersedia di Gramedia, bisa juga beli online di Tokopedia atau aplikasi berbelanja lainnya 📖 Bagi Alea, tak ada yang lebih membahagiakan ketika membaca puisi-puisi Gilang. Cewek itu pun kaget...