ketiga

4.2K 553 391
                                    

           
Kalau bicara tentang bahagia, mungkin Anya punya favorite part nya tersendiri. Semuanya di mulai dari jauh-jauh bahkan sebelum hari yang kini ia jalani –sebagai seorang istri dan seorang ibu dari anak perempuan mungil yang belum genap dua tahun. Namanya Yumnaa Malaika Anggara, sudah pasti anak dari si pak Anggara. Iya Damar, si mantan pacar yang resmi diputuskan untuk jadi suaminya tiga tahun yang lalu.

Pernikahan tentulah bukan satu hal yang Anya pentingkan sebelum akhirnya Damar datang hari itu, malam-malam sehari sebelum dia berangkat tugas ke negeri tetangga. Waktu itu hujan, Damar datang dengan lusuh habis lari turun dari mobil.

"Emang di mobil nggak ada payung ya, yang? Mesti banget lari-lari begini, jadi basah baju kamu." Inner ibu-ibunya Anya muncul seketika. "Kamu ganti baju aja ya? Pake baju papa."

Damar kaget. Ini sih sama aja kayak ngumpanin santapan ke anjing galak.

"Hah, nggak usah yang biarin aja. Masa aku pake baju papa? Nggak sopan."

"Ya daripada basah begini? Nanti sakit."

"Kalo sakit juga kan ada kamu, yang. Ada yang urusin."

Anya terkekeh sambil mengacak rambut si pacar. "Bisa aja mas Damar ya."

Ada mungkin satu setengah jam berlalu yang diisi dengan obrolan-obrolan rutin Anya dan Damar. Bertanya apa yang dilakukan seharian, apa ada masalah, atau bahkan yang tidak penting sekalipun seperti 'Tadi siang kamu makan apa?'

Sampai akhirnya, percakapan serius itupun muncul. Yang mulai sudah pasti Damar, karena memang sudah dipersiapkan dari lama. Dari waktu masih on the way kerumah Anya, bahkan setengah jam yang lalu, saat sedang ngobrol kesana-kesini, sebenarnya pikiran Damar cuma kesatu titik.

Ajak nikah Anya.

"Nya, sebentar lagi S2 aku selesai. Kamu juga udah beres dari kerja di daerah. Hm, aku nggak apa-apa ya tiba-tiba ngobrolin ini?"

"Apa emang, mas?"

"Aku ada kepikiran buat serius, Nya. Kita emang udah serius sih, tapi maksud aku, kita nikah yuk, Nya?"

Anya terdiam, rasanya seperti setahun mematung padahal cuma setengah menit. Ini serius? Pikirnya.

"Kita pacaran emang belum lama, masih jalan tiga tahun. Tapi aku kayaknya udah nggak butuh waktu lebih lama lagi buat yakin kalo kamu itu masa depan aku, Nya. Kamu dewasa, kamu keibuan. Kamu baik, bisa mengayomi, sayang sama keluarga aku, sayang sama aku juga, kan, pasti?"

Yang sedang mendengarkan dengan sangat serius menganggukkan kepalanya. Ya iya pasti sayang. Kalau nggak kan enggak mungkin pacaran lama-lama.

Damar senyum lebar sambil menarik tangan Anya untuk dia genggam. Biar enggak grogi, jadi harus pegang tangan mbaknya.

"Yang paling jelas sih, Nya, kenapa aku pengen kita nikah, karena aku jadi lebih baik setelah sama kamu. Cuma kamu, Nya, yang bisa bikin aku begini. Cuma kamu yang bisa bikin aku jadi bayangin tentang masa depan, tentang berumah tangga, tentang punya anak. Anya mau punya anak perempuan? Boleh, aku mau juga. Tuh, cuma kamu yang bisa bikin aku ikut semua kemauan orang tanpa mikirin aku dulu. Aku ini rela turun ego demi kamu."

"Mas, udah dong, Anya kan jadi baper." Keluh Anya seraya menyembunyikan wajahnya di kedua telapak tangan. "Malu tau." Tambahnya.

Damar tertawa. Gemas, katanya. Tapi sayang waktu itu sedang dirumah orang tuanya Anya. Jadi nggak bisa main hajar aja seperti yang biasa dilakukan di lain tempat.

"Ini kamu yakin, mas? Pernikahan itu bukan main-main lagi loh. Kita harus serius dan nggak menganggap sepele yang hanya sebatas kamu ijab kabul, lalu udah deh. Yang nikah itu ntarnya nggak cuma kita, tapi dua keluarga kita juga. Harus dipikirin baik-baik."

the diary of everythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang