Jarum jam sudah hampir sampai di angka sebelas malam, tapi Damar masih asik saja menghabiskan waktu di kantor. Dia memilih untuk membabad habis setumpuk pekerjaannya dalam rangka melupakan masalah yang terjadi siang hari tadi. Tapi ini lebih tepat dinamai mengulur waktu pulang kerumah, sih. Semakin lama waktunya, semakin jernih lah kepala Damar untuk berpikir sampai ke titik menyesal nantinya.
Dan Damar sudah memasuki fase menyesal itu sekarang. Ah ya lagi-lagi menyesal itu datangnya diakhir. Tapi nggak apa-apa, ada beberapa orang yang memang butuh waktu lama untuk menyadari sesuatu, seperti si Damar ini lah contohnya.
Sejujurnya, Damar sama sekali nggak marah sama Anya. Lagipula mau marah gimana, sih? Istrinya itu membela kehormatan suami di depan orangtuanya yang sampai sekarang masih punya dendam tersendiri pada Damar. Sedikit miris sih sebenarnya, karena pernikahan mau masuk tahun keempat tapi Damar dan mertua masih sulit untuk akur.
Tapi mungkin salah Damar juga sih, coba kalau dulu..
Nah kan, bagian ini yang paling saya nggak suka sebagai hasil ribut sama mertua, ujung-ujungnya saya keinget kesalahan terbesar saya dulu sama Anya, yang demi apapun kalau bisa minta suntik amnesia sih boleh tolong hapus yang satu itu.
Nyesel, Mar? Ya udah pasti, nggak usah ditanya lagi.
Bisa dibilang, sampai saat ini kejadian beberapa tahun silam itu masih jadi mimpi terburuk bagi Damar. Dia bersumpah nggak pernah bisa dan bahkan nggak pernah mau lagi membayangkan Anya terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit seperti waktu itu, dengan beberapa luka di tubuhnya, yang paling menyedihkan adalah kenyataan saat Anya bangun, kakinya sempat nggak bisa digerakkan. Dan itu semua karena siapa? Karena Damar.
Awalnya sudah mau melepas saja, karena apa juga yang bisa diharapkan dari seseorang yang pernah mengkhianati kepercayaan, ya? Tapi ternyata melepas juga bukan pilihan terbaik untuk Damar, karena rasa cintanya pada Anya bukan sekedar hubungan main-main anak muda pada umumnya. Bayangkan saja coba, baru lima bulan pacaran pun Damar sudah bisa menggambarkan masa depannya bersama Anya serta anak mereka. Jadi cintanya sudah terlampau serius walau diakui kadang masih ada beberapa hal bodoh yang sengaja atau tak sengaja dilakukan.
"Tapi aku serius, Nya. Aku mau kamu jadi istri aku."
Iya, Damar sangat yakin kalau bersama Anya lah hidupnya akan jadi jauh lebih baik. Tapi sebaik-baiknya hidup, ujiannya ya pasti ada saja. Contohnya yang baru saja terjadi tadi. Dan sebaik-baiknya sebuah hubungan, adalah yang nggak bakal dengan mudah menyerah pada ujian.
"Mas, pulang jam berapa?"
"Kabari ya, mas. Aku khawatir."
"Udah jam 10, mas masih dikantor? Sudah makan?"
Begitu kira-kira isi pesan Anya yang masuk ke handphone Damar. Belum lagi beberapa telfon yang tak terangkat. Bukan sengaja, hanya kebetulan handphone-nya dalam mode senyap dan Damar masih butuh waktu menyendiri untuk mendinginkan kepala. Niatnya bagus; supaya bisa kembali baik seperti biasa dan cari jalan keluar dari masalah.
Ada kok hasilnya, ini buktinya Damar lagi menyesali perbuatan angkuhnya. Menyendiri di kantor, tengah malam, sepi lagi. Paling ditemani satpam yang jaga 24 jam, dia kegirangan karena Damar adalah pegawai yang paling dia suka. Orangnya ramah, gigih dan tekun juga, begini pendapat orang-orang yang mengenal Damar dikantor. Pantas lah banyak yang kagum, seperti pak satpam satu ini yang dengan riang gembira menemani Damar, karena biasanya bapak muda ini jarang ke kantor.
"Pak, mau saya bikinkan kopi?"
"Nggak usah, pak. Terima kasih." Damar tersenyum.
"Baik kalau begitu, saya ke bawah dulu ya, pak. Kalau ada yang perlu di bantu, beritahu saya."
KAMU SEDANG MEMBACA
the diary of everything
Romancethey said, an apple a day keeps the doctor away. i dont like apples. a damarstories 2.0 || updates once a week