kedua

3.7K 559 168
                                    

Prolog.

Aku besar di keluarga yang sedikit banyaknya menganut beberapa paham filosofis. Papaku, seorang kepala di kantor pemerintahan di Bandung, disamping kesibukannya dalam mengatur dan mengurusi semua keperluan masyarakat se-Jawa Barat, beliau selalu menyisihkan beberapa jam dari waktu panjangnya untuk membaca buku. Buku apapun, kebetulan Papa nggak pandang bulu, ya tapi nggak baca Teenlit juga, sih. Seringnya baca buku sastra dari penyair dan sastrawan terkenal Indonesia.

Suatu hari, aku pernah diceritakan satu hal menarik oleh papa. Waktu itu aku baru pulang kerja, badanku pegal karena belum sempat istirahat semalaman. Maklum ya, bagian jaga malam memang paling menyiksa. Baru aku duduk di kursi ruang tamu kediaman orangtua, papaku datang sambil membawa secangkir teh manis.

"Buat kamu nak, pasti capek ya?" Beliau bertanya. Aku mencium tangannya, lalu menjawab singkat. "Sudah berapa lama ya kira-kira papa harus membiasakan sama bau ini. Pasti udah sangat lama nih, papa sampe lupa."

"Bau apa, pa?"

"Bau rumah sakit, bawaan kamu ini." Aku tergelak. Bau rumah sakit memang ganggu banget ya?

"Aku mandi deh bentar lagi.." Jawabku, lalu papa tersenyum hangat sambil mengusap kepalaku lembut. Nyaman rasanya, semua capek, penat, hilang seketika.

"Bentar nak, duduk dulu disini, papa mau cerita tentang sesuatu yang kamu lupakan." Aku diam sebentar, mencerna apa maksudnya papa. "Tentang ulangtahun. Besok kan ulangtahunmu."

Oh iya, tuh kan, sampai lupa ulangtahun sendiri. Beban pekerjaan harus tanggung jawab nih.

"Aku sampe lupa, pa, makasih ya udah mengingatkan."

"Nggak apa-apa nak kalo lupa pun ngga dosa. Justru bagus, jadi nggak merayakan berlebihan."

"Papa kan mau ngobrolin itu bukannya biar dirayakan ya?"

Papa senyum lagi. "Bukan, justru papa mau memberi nasihat. Tentang ulangtahun, nak, jangan terlalu diagung-agungkan, dirayakan ramai-ramai, pake pesta segala macam. Ulangtahun itu cukup kamu saja berdoa. Nggak perlu diramaikan, karena bertemu tanggal lahir kamu di tahun berbeda itu sama artinya dengan mendekati waktu dijemput, sudah mendekati ajal, sisa hidupnya berkurang satu. Terus begitu sampai waktunya tiba."

Aku bergidik. Seram juga topik mengobrol papa malam itu.

"Tapi ada satu hal lain yang lebih berarti untuk dirayakan nak, ketimbang ulangtahun sendiri, lebih baik rayakanlah ulangtahun pernikahan. Karena jangkanya panjang, dan untuk sampai ke titik itupun kamu harus berjuang, kan? Yang seperti itu yang butuh perayaan dan penyelamatan. Setiap hasil perjuangan kamu dan suamimu, hasil bertahan melawan rintangan satu dan yang lain, hasil mau menempuh waktu berdua sampai kelak maut memisahkan. Rayakan ulangtahun pernikahan, nak. Lebih banyak artinya."

Ini pesan papa yang aku ingat sampai sekarang.

Sampai detik ini bertemu ulangtahun pernikahanku yang ketiga bersama Damar.

"Selamat tiga tahun, yang." Bisiknya dari sisi kanan. Aku terkekeh, begini ternyata rasanya jadi orang tua. Kami terpisah jarak di tempat tidur.

"Selamat tiga tahun juga." Balasku, sepelan mungkin biar nggak menganggu.

Dan ini yang membedakan ulangtahun pernikahan yang sebelumnya dengan yang sekarang. Selain sangat sederhana, kini ada satu selamat lagi.

Untuk anakku, yang tertidur pulas diantara ayah dan ibunya.

"Selamat bobo anak ayah, yang nyenyak ya nak, biar besok bisa main lagi."

Dalam diam, aku berbisik pada diriku sendiri. Satu selamat lagi, untuk diriku sendiri.

Selamat, Nya, sudah mendapatkan yang jadi sumber kebahagiakan di hidupmu; Damar, three years and still counting, dan anugrah kecil bernama Yumnaa Malaika Anggara.

the diary of everythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang