"Bu, mas mau minta tolong. Boleh?"Aduh. Sudah nggak terhitung lagi berapa kali keluhan itu keluar langsung dari mulut seorang Damar, ayah muda yang sedang ketar-ketir di rumah bersama anak semata wayangnya yang masih saja rewel, padahal sudah banyak jurus yang dilancarkan supaya si anak bisa diajak kerjasama.
"Nak, jangan nangis terus dong. Tau kok ayah juga, kamu kangen ibu, kan? Ayah juga sama." Katanya sambil menggendong Yumnaa, lalu menepuk-nepuk punggung si kecil dengan lembut dan penuh harap semoga dia cepat terlelap.
Tapi yang si kecil lakukan justru malah semakin menjadi-jadi. Dia menangis tanpa henti sampai Damar bisa merasakan sendiri pasti anaknya itu capek terus-terusan menangis seperti itu. Kali ini jurus yang Damar keluarkan bukan lagi mengayun pelan si anak di gendongan, tapi juga berbuat konyol sambil memasang wajah-wajah lucu, ya sebuah trik supaya si kecil bisa diam.
Apakah berhasil? Nggak. Jurus yang itu malah membuat pipi Damar merah, ulah tangan si kecil yang melayang memukul ayahnya yang sabar.
Duh, nak..
Beribu 'coba aja' mulai mengisi seluk beluk kepala Damar. Dari mulai coba aja Anya nggak harus ikut acara dokter-nya di Jakarta, sampai coba aja friend for life-nya, yang selalu ada di dalam kesusahan dan segala kesulitan nggak pulang kampung–sebut saja dia mbak Tini–pasti Damar nggak serepot ini.
Dan coba aja Mar, kalo lo nggak sok jagoan di depan Anya sampai bilang bisa jaga Yumnaa sendirian. Pasti nggak begini ujungnya.
"Kamu yakin bisa bedua aja sama Yumi di rumah?" Tadi malam waktu Anya masih dirumah, dia bertanya sambil menemani Damar di ruang kerjanya. Harusnya, si ibu muda itu mulai packing karena besoknya harus berangkat pagi bersama rombongan dokter lain yang diberi tugas juga. "Nggak mau ke ibu atau ke mama gitu? Mbak Tini nggak pulang besok loh, Yah.."
"Yakin bisa kok. Kamu kerja aja yang fokus. Urusan rumah kali ini aku yang handle. Gantian lah kita. Lagian kan aku mumpung ambil libur, yang."
"Gimana kalo kamu sama Yumnaa ikut aja? Kalian pake mobil, aku tetep sama rombongan yang lain. Nanti ketemu di Jakarta. Mau, ya? Aku bisa kok reserve kamar baru buat kita nanti." Bukan nggak yakin, tapi Anya hanya sedikit mengkhawatirkan Damar dan Yumnaa kalau harus ditinggal berdua dirumah.
Sesiaganya Damar, dia belum pernah ditinggal berdua untuk waktu yang cukup lama. Dan sebaik-baiknya Yumnaa kalau lagi ditinggal ibu, dia pasti punya waktu rewel yang Damar belum tentu bisa menangani sendiri.
"Yang, kamu itu lagi dapet tugas. Kamu kesana buat kerja, bukan buat tamasya keluarga. Kalo aku sama Yumi ikut nanti nggak fokus kerjanya. Udah nggak apa-apa, aku bisa kok jaga Yumi, nanti kalo ada apa-apa aku janji langsung ke ibu atau ke mama biar ada yang bantu." Jelas Damar untuk menenangkan istrinya yang sedang dilanda khawatir. Dia memegangi kedua sisi lengan Anya sambil mengusap dengan lembut. Tak lama genggaman itu pindah ke kedua tangan Anya. Sesekali Damar mencium punggung tangan itu bergantian, lalu senyum setelahnya.
Rasanya baru kemarin Damar bertemu Anya untuk pertama kalinya. Dan baru kemarin juga Damar harus berpisah sementara dari Anya karena masalah hati yang membelenggu keduanya. Tapi sekarang, Anya si pujaan hati itu sudah ada bersama dia. Di jari manisnya terpasang cincin nikah yang di berikan empat tahun lalu seselesainya Damar mengikrarkan janji seumur hidup di depan wali sah Anya.
"Saya terima nikahnya Tanya Maharani binti Rahman Fauzan dengan mas kawin seperangkat alat sholat dibayar tunai!"
Kalau boleh lebay, seringkali Damar masih terharu saat membayangkan kembali kata sah! Dari saksi dan dari keluarga serta kerabat yang menyaksikan hari sakralnya itu. Damar juga masih ingat saat dia menoleh kearah Anya dan perempuan cantik bak dewi itu sedang susah payah menyeka airmata nya karena kelewat haru.
KAMU SEDANG MEMBACA
the diary of everything
Romancethey said, an apple a day keeps the doctor away. i dont like apples. a damarstories 2.0 || updates once a week