keenambelas-final

3.8K 411 202
                                    


Damar

Sudah lama, mungkin hampir sepuluh tahun yang lalu, Nabila pernah pulang kerumah sambil pasang muka kesel. Dia sampai lupa mengucap salam sambil buru-buru buka sepatu. Untung aja nggak pakai adegan lempar tas. Takutnya kalau begitu nanti disangka lagi syuting film Hidayah: Anak Perempuan Durhaka Mandinya Lama.

Hah, apa itu.

"Ibu! Mas Damar malu-maluin Nabila di sekolah!"

Waktu itu saya masih SMA kelas tiga. Nabila kelas satu, dia murid baru yang lagi sibuk-sibuknya pengenalan esktrakulikuler dan organisasi. Karena anaknya kurang gaul, dia cuma ikut ekskul debat, sama fokus di OSIS lengkap dengan mengantongi gelar mantan ketua osis waktu SMP di Cimahi sana.

"Waalaikumsalam." Balas si ibu dengan sabar. Saya lagi berusaha tenang. Lepas sepatu, lalu senyum sumringah sebelum badai menerpa.

"Assalamualaikum!" Ketus Nabila yang masih aja emosi. "Bu, mas Damar nih bikin malu teteh di sekolah."

"Kenapa?"

Nabila melirik saya dulu. Saya sengaja pakai wajah sok sedih biar dia ada sedikit rasa iba. Tapi nggak ternyata.

"Mas Damar hari ini dipanggil BP. Ketauan ngerokok lagi jam pelajaran sekolah. Nabila kan lagi ikut OSIS, temen-temen langsung pada nanyain waktu mas Damar dijewer Bu Rita ke ruangan. Katanya masa abang sama adek beda banget kelakuannya."

"Benar, mas?"

Saya bisa apalagi selain mengakui kesalahan yang super bodoh itu. Habis memang tengil sih, Mar, harus banget nyoba ngerokok pas jam sekolah dan deket sekolah ya? Tapi namanya anak muda, waktu itu umur masih 17. Ada aja rasa ingin tahu dan adrenalin nantang aparat sekolah. Walau pas ketahuan tetep aja mohon-mohon keringanan.

'Bu, please ini mah, jangan telfon ibu saya. Yang barusan saya lakuin itu murni rasa ingin tahu seorang remaja atuh bu, wajar. Kan kalo udah tau mah saya juga kapok."

"Alasan kamu, Mar."

"Eh nggak bu, serius. Saya mah yakin ibu tau banget saya aslinya gimana, kan? Baik iya, shalat dzuhur selalu tepat waktu, ngerjain pr, nggak pernah salah tempat sampah, yang kuning untuk sampah plastik, yang biru organik. Nggak pernah mabal, nilai matematik kecil terus tapi jujur. Kalau jajan nggak pernah ngutang. Satu lagi, saya juga nggak pernah labrak melabrak soalnya semua adalah kawan."

Bu Rita malah mendengus sambil geleng-geleng kepala. "Kamu tau nggak kalau sampai kelakuan kamu itu ketauan sekolah lain kan malu."

"Jangan takut bu semua aman. Kita disini punya pasukan khusus untuk menjaga keamanan sekolah. Jadi yang lain nggak bakal tau."

Di geplak kepala saya. "Kamu jangan berbangga hati begitu. Ini tetap masalah kamu!"

"Iya maaf bu. Tapi plis jangan telfon ibu saya ya, bu."

Bu Rita hendak menjawab waktu itu, tapi tertahan saat ada seseorang yang datang bak pahlawan. Disini lah peran seorang teman terbukti dibutuhkan. Aga datang dengan alasan menyelamatkan teman dari belenggu kesusahan.

"Assalamualaikum, bu."

"Ieu naon hiji deui kadieu?" –ini ngapain satu lagi datang kesini?

"Mau silaturahmi sama ibu sekalian mau bimbingan perguruan tinggi, soalnya pikir-pikir, bu, Aga pengen ke ITENAS."

"Tinggal naik angkot atuh dua kali."

Si Aga mengernying, "Aduh becanda si ibu."

"Ini urusi dulu temanmu lah, Ga, ketauan merokok dia."

the diary of everythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang