ketujuh

2.4K 380 88
                                    

           
"Aku kayaknya nggak bisa nemenin kamu lahiran, yang. Aku minta maaf. Kamu bisa, tanpa aku juga aku yakin kamu bisa."

Tiga puluh tiga. Damar sudah menghitung berapa kali dia memencet klakson mobilnya dengan sangat emosi tapi jangankan dari Damar, dari ratusan mobil yang mengantri panjang baik itu di depan atau di belakang, tetap nggak mampu menyudahi macet sialan yang kalau maju paling dalam hitungan milimeter.

Kalau macet begini, pasti yang terlintas di kepala kita adalah lagian mau pada kemana sih bukannya pada dirumah aja biar nggak macet? Begitu. Dan yang lucu, kalau semua pengendara punya pikiran yang sama. Siapa yang salah? Yang jelas bukan Anya, bukan juga si bayi yang tiba-tiba minta keluar hari itu.

"Sial."

Damar sudah mencoba untuk tenang. Jangan panik, Mar, nanti yang punya tol Cipularang marah. Tapi marah mana sama Damar yang pas istri mau melahirkan malah lagi ada kerjaan dan jauh dari rumah? Bandung-Jakarta itu nggak sedekat lubang hidung. Jarak, ditambah macet jadi semakin nambah alasan untuk mengabsen nama hewan dengan liar, walau itu sama sekali nggak membantu untuk cepat sampe dan menemani istri dari kontraksi sampai melahirkan.

"Mas, Anya kayaknya mau lahiran hari ini, deh." Begitu tutur Anya sambil meringis diujung telfon. Memang pada kenyataannya sedang menahan sakit sambil berpegangan pada benda yang cukup kuat untuk menahan supaya nggak jatuh, dan amit-amit jadi berujung ke masalah yang lain.

Baru satu kabar itu saja sudah cukup membuat Damar merasa dicibir, tapi entah oleh siapa. Yang jelas kata-katanya cukup menohok, suami macam apa sih istri lagi kontraksi kok ya malah jauh-jauh? Haha, kurang ajar. Damar memijat keningnya dan berusaha untuk membuang jauh pikiran tersebut, terlebih yang Damar dengar jadi suara papa mertuanya.

"Aku lagi di jalan pulang sekarang. Aku pasti sampe. Aku pasti disana sama kamu, tunggu sebentar." Harus optimis. Begitu pikir Damar waktu jalan masih lancar. Kemudian semua kepercayaan diri Damar langsung menghilang ketika dari jauh pun sudah terlihat macet.

"Mas, hati-hati ya nyetirnya. Jangan ngebut. Anya nggak apa-apa kok, aku bisa nunggu." Anya bisa nunggu, walau di sisi lain inginnya Damar nggak pake lama lagi harus udah disitu. Menemani kontraksi, dari memegangi tangan, membuat tenang sampai mengelap keringat yang mungkin aja bercucuran, dampak dari menahan sakit mau melahirkan. Tapi, Anya juga sadar, lebih baik berjuang sendiri yang penting suaminya selamat di perjalanan.

"Utamakan keselamatan kamu ya, mas."

Damar cuma bisa mengiyakan. Nggak bisa janji. Mungkin sekalinya macet ini berubah lancar, Damar akan ngebut walau dengan sangat hati-hati. Gimana caranya? Ya itu cuma Damar yang tahu. Mungkin ngebut sambil baca doa?

Dan doa-doa yang tidak baik nggak pernah dikabul Tuhan. Begitulah yang terjadi pada Damar. Niatnya mau ngebut masih terhalang macet yang tak kunjung selesai. Istri saya mau melahirkan! Inginnya Damar teriak begitu, supaya yang lain mengerti dan memberi jalan. Tapi, Damar harus ingat, dia ini bukan anak pejabat, dan yang kepentingannya lebih dari sekedar istri mau melahirkan itu banyak. Jadi pada akhirnya Damar sadar, mungkin memang harus menyerah pada kenyataan.

"Halo, Nya?" Akhirnya sambungan telefon itu terhubung setelah menunggu sampai dua menit. "Kamu masih kontraksi ya, yang?"

"Masih, mas." Jawab Anya singkat.

"Aku temenin lewat telfon ya, yang? Kamu nggak perlu jawab kalo sakit. Dengerin aja."

Anya mengangguk, bersyukur masih bisa ditemani suami walau wujudnya belum bisa dilihat langsung.

Awalnya, Damar bingung harus bilang apa. Kalau cerita macet, nanti istrinya jadi semakin stress. Dan itu sama sekali nggak membantu.

"Yang, inget nggak dulu waktu masih pacaran kamu sempet bilang katanya nanti kalo udah nikah, kamu pengen punya anak yang lucu-lucu? Terus aku cuma diem aja, eh kamu kesel." Damar memulai, tapi nggak dapat jawaban. Walau sebenarnya Anya menganggukan kepala. "Yang kamu nggak tau, waktu itu aku bilang amin tapi diem-diem. Aku anggap kepengenan kamu itu doa. Dan sekarang doanya jadi nyata, yang. Kita mau punya anak yang lucu."

the diary of everythingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang