⚘ ⚘ ⚘
RINDUBandung ya memang begini, dingin. Tapi dinginnya akan bertambah dua kali lipat di waktu subuh seperti sekarang.
Jarum pendek diam di angka lima saat aku melirik sekilas sebelum melakukan kebiasaan sejak tinggal di sini.
Membuka jendela selebar-lebarnya lalu berdiri terbungkus selimut di dekat jendela.
Aku akan menghapus rasa rindu yang setiap paginya sudah menumpuk memenuhi dada untuk seseorang yang menjadi my first and eternal love, Papa.
Dulu aku dan Papa akan membuka pagi dengan duduk di teras pagi juga berbincang hingga matahari mulai terbit sambil sarapan. Kebiasaan yang sudah kita mulai sejak Papa membawaku dalam dekapannya menuju teras sampai berganti menjadi aku yang mendorong kursi roda Papa menuju teras.
Dari aku yang hanya bisa tersenyum menanggapi Papa yang mengajakku bicara, hingga berganti menjadi Papa yang hanya tersenyum menanggapi ceritaku.
Sayangnya, kebiasaan ini berhenti saat aku duduk di kelas 1 SMP tepatnya setelah ulangan umum di semeseter dua. Masih jelas teringat setiap detail kejadian hari itu. Hari yang paling ingin aku lupakan, hari dimana Papa tidak lagi bisa menemaniku lagi untuk menyambut pagi. Hari dimana Papa pergi dari sisiku selamanya.
Pagi berikutnya setelah hari itu, setiap pagi aku hanya akan berdiri di belakang jendela dengan mata tertutup, menarik nafas sedalam mungkin, menikmati setiap partikel udara yang perlahan masuk lalu menyebar dalam saluran pernafasan.
Sejenak aku akan merasa sangat bahagia dan tenang karena seperti bisa merasakan pelukan Papa pada saat itu.
Itulah sebabnya, aku, Rindu Lentera Senja akan betah berlama-lama seperti ini sampai suara bising mulai terdengar dari kendaranan di jalan Cipaganti beberapa meter dari tempatku berdiri, juga tentunya sampai ada teriakan, "TEH CEPET MANDI! SARAPAN!"
Itu Ibu, Nenek dari Papa pengganti Mama untukku dan Teteh adalah panggilanku dirumah ini.
"Iya, Bu."
Aku menutup jendela, kemudian merapikan kasur sebelum menuju kamar mandi.
Sarapan memang sebuah kewajiban yang haram ditinggalkan di rumah ini. Ibu akan ngomel seharian, spam SMS tiap satu jam, dan terus dibahas selama mungkin hampir sebulan penuh jika sangat terpaksa aku melewatkan sarapan di rumah.
Sepenting itulah sarapan untuk Ibu.
Sekujur tubuhku menggigil kedinginan, membuat celana dalam yang baru saja aku keluarkan dari lemari jatuh.
Sudah biasa.
Setiap pagi pasti ada saja yang aku jatuhkan dari lemari karena menggigil seperti ini.
Iya, aku tahu air Bandung setiap pagi tidak ada beda dengan air yang baru saja dikeluarkan dari kulkas, tapi aku lebih memilih menggigil kedinginan begini dari pada mandi dengan air hangat.
Menurutku, untuk apa merasakan hangat sekejap jika keluar kamar mandi sudah berkeringat, sama saja seperti gak mandi.
Oh, Tuhan wewangian yang sudah kuhapal membuatku segera mematikan hairdryer dan bergegas menuju meja makan dengan rambut masih setengah basah.
Ini wangi favoritku.
Wangi nasi goreng kunyit.
Dan ternyata nasi berwarna kuning yang itu sudah bergerombol di atas piring menungguku untuk disantap, "Asik, nasi goreng kunyit kesukaan aku."
KAMU SEDANG MEMBACA
La Vie En Rose
General FictionTiap manusia mempunyai cara yang berbeda untuk mencintai. Ada yang mencintai dengan memiliki, mencintai dalam diam, ada juga yang mencintai dengan menunggu. Dari ketiga cara itu mana yang terbaik menurut seorang Rindu Lentera Senja? Bisa jadi semuan...