BANDUNG

918 123 6
                                    

Kota Kembang, bandung.

Hujan mengguyur kota kembang sabtu sore itu. Dari dalam bus dua orang pemuda duduk bersebelahan. Berkemeja kotak biru dongker dan berkemeja putih polos. Galih dan Tegar. Hujan membuat suasana hiruk pikuk Bandung sedikit mereda. 

"Bang, kita langsung ke hotel itu?"

Tegar menatap Galih, mengangguk. 

Setelah turun dari bus, mereka memesan gerobak menuju hotel yang dimaksud.

"Bang gimana kalau pencarian kita nihil?"

"Kita coba dulu,"

          Bandung, kota yang dikenal dengan kota Kembang, Kota sejuta kenangan, tentang rasa dan angan, tentang cinta dan sebuah penantian, tentang harapan dan kepastian. Semoga, di kota inilah angan, rasa, dan cinta itu hadir kembali. Penantian itu akan terbayar pasti. Semoga.

"Hoyong keur naon ditu, Bang?" Ujar sopir gerobak.

"Liburan, Pak." Ujar Galih. Tegar menahan tawa.

"Liburan?" Galih menoleh bingung.

Tegar memberi isyarat.

Andai hujan dapat menyampaikan sebuah pesan, sampaikanlah kepada sang pemilik rindu. katakan padanya, kembalilah, pulanglah, ada  hati yang sedang menunggu.

"Atos dugi, Bang."

"Hatur nuhun, Pak." 

rintikan hujan masih saja turun. Hawa dingin merasuk. Kabut turun semakin menambah suasana menjadi benar-benar beku.

"Bang kita bakal nginep kan?"

"Ya iyalah bambang, masak mondar mandir doang di sono." Celetuk Tegar

"Gue aja Bang yang booking hotelnya."

"Patungan aja, Lih. Mahal loh nih hotel."

Galih meringis

sambil Galih mengurus pemesanan kamar, Tegar duduk di ruang tunggu. menatap sekitar. Lumayan sepi. 

"Yuk, Bang kamar 202."

hotel itu terdiri dari 3 lantai. Tidak terlalu banyak memang kamarnya, namun untuk masalah fasilitas hotel itu memang bisa dikatakan bintang lima. 

"Malem ini kita istirahat dulu, besok pagi kan sarapan siapa tahu kita bisa ketemu Sandi di sana." Ujar Tegar.

06.00

Sudah hari ketiga mereka di sana dan masih nihil.

"Lih, kalau hari ini nihil. Kita pause dulu deh pencariannya. Gue takut ketinggalan matkul sama laprak banyak yang keteteran." 

''Terutama sih biaya hotel ini mahal," Tegar tersenyum meringis.

"Semoga ada titik terang pagi ini, Bang."


Suasana kota Bandung masih dingin. Mereka bersiap menunggu di restoran hotel sekalipun makanan belum siap.

Tuhan menjawab doa Galih pagi itu.

"Bang kenapa kita nggak tanya aja kamar bookingan atas nama sandi? "

"Kita coba aja dulu pantau di sini, bisa jadi bukan Sandi yang booking. "

"Apa maksud abang? Sandi..? Jangan sembarangan! "

"sans,  gue nggak bilang dia cewek yang nggak bener. Gue bilang kemungkinan."

Satu setengah jam berlalu. Suasana restoran cukup ramai.

"Nihil bang. "

"Tunggu deh bentar."

"Lu lihat ke ujung sono,  dia siapa? " ujar Tegar tercengang

"Sandi? " Galih berdiri ingin segera menghampiri

"Dia bukan Julia? "
Tegar menyuruhnya duduk kembali.

"Tenang! "

"Bang gue harus nyamperin dia."

Gadis itu hampir tak dikenali. Rambutnya pendek, berkacamata.
Tanpa basa basi Galih tak menghiraukan ucapan Tegar. Gesit ia menemui gadis itu.

"San. "


Seketika Gadis yang duduk menatap ponsel itu terkejut. 

Pucat pasi.
"Ga lih.. " terpatah patah.
"Kenapa lo pergi? Kenapa lo ngejauh dari kehidupan lo yang semestinya."
Sandi terdiam,  wajahnya benar pucat pasi. Gadis kecil di sebelahnya menatap keadaan itu bingung. Beberapa orang lain menatap bingung.

"Jawab San! "
Tegar menghela naas panjang menatap keadaan itu dari jauh.

Sandi masih diam, bingung.

"Gue nggak bisa jelasin, Lih. "

"Kenapa? "

"Gue tu sayang sama lo san, semua orang sayang sama lo san,  bu warda,  dan terutama Julia.. "

"Gue sayang sama Julia, bu Warda, dan sama lo.. " suara itu hampir tak terdengar

"Tapi gue nggak bisa, Lih.. "

"Kenapa,  San. "

"Dena,  kita sarapannya nanti aja ya. "
Dengan cepat Sandi mengajak gadis mungil itu pergi meninggalkan Galih yang masih berdiri terpaku. Terpaku dan kaku, kaku penuh ragu.

Kupu-Kupu Tak BersayapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang