RADIT

503 87 5
                                    


Sandi menghela napas panjang. Ia merebahkan tubuhkanna ke sofa setelah mengunci pintu rapat-rapat. Dena duduk manis di kasur. 

suaru bel mengejutkannya.

 apa Galih mengikutinnya sampai ke sini?

gimana ni?

ia ragu membuka pintu. Tetapi setelah mendengar suara itu ia langsung membuka pintu.

"Beb, aku bawain makan."

"Aku tahu kamu tadi nggak makan."

"Tahu dari siapa?"

Sandi semakin pucat pasi. Apa Radit melihat semua kejadian tadi.

"Tadi Aku di bawah cari kamu sama Dena. Eh kamu nggak ada. Aku tanya Doni dia bilang nggak lihat kamu."

Sandi menghela napas lega.

"Maaf ya yang aku overtime sampe nggak pulang."

''Kerjaan banyak banget."

"Ok."Sandi menjawab pendek. Membawakan tas Radit.

"Kamu pucet, kamu sakit?" Tanya Radit mengusap wajah gadis itu yang jelas terlihat pucat pasi.

Sandi menggelengkan kepala.

"Yang, kita cari kost aja yang murah. Jangan tinggal di sini ya."

"Loh, kenapa ? Kita juga kan gratis tinggal di sini?"

"Lagi juga aku baru dapet kerja, San. Gajinya baru turun bulan depan."

Sandi melingkarkan tangannya ke pinggang Radit. Mencari perlindungan. Denamenatap bingung. Radit terlihat bingung dengan sikap Sandi. 

"Everything will be ok," ucap Radit menenangkan.

"Are you, Ok?"

melingkarkan tangannya ke pinggang Sandi, hingga ia nyaman di pelukannya. Gadis itu mendengar jelas detak jantung Radit. 

Pria tinggi berdada bidang,  berkulit sawo matang, bermata meneduhkan itulah sandaran ternyaman Sandi saat ini. Saat dunia tak berpihak padanya, Raditlah yang selalu siap jadi pelindungnya, pendengar keluhnya, pengobat sedihnya saat tawa tak muncul di gurat manis gadis itu.

"Kalau bisa nanti malam kita pindah." Pinta Sandi.

Radit masih nampak bingung.

"Dena makan dulu, ya."

"Ini Om Radit bawain makanan."

"Nanti mama jemput kamu sebentar lagi." Ujar Radit.

"Sayang kamu kenapa si?" tanya Radit mengajak Sandi duduk di sofa. Tak mungkin ia menceritakan hal yang baru saja ia alami. Bertemu Galih. 

Radit mengusap halus rambut gadis itu. Menenangkannya.

"Aku harus bicara juga sama Pak Renald . Nggak enak, Yang."


"Yang lebih nggak enak lagi kalau gini. Kita numpang. Meskipun kamu di mata Pak Renald udah kaya anak sendiri. Kita harus tahu diri, Sayang."

"Ya daripada kita tinggal di rumah pribadi Pak Renald mending di hotel ini, Kan?" 

"Apa gara-gara.." Suara Radit terdengar begitu lirih.

Sebelum sempat Radit melanjutkan bicaranya, gawai Sandi berbunyi.

Gawai itu terjatuh tak lama setelah Sandi mengangkat telepon.

"Kenapa, San?"

"Adekku, Julia."

Tangis itu pecah. Sandi menangis.

"Julia kenapa, San?"

wajah gadis itu pucat pasi, air matanya terus menetes. Dena menatap bingung om dan tantenya itu.

"Jawab San, Julia kenapa?"

"Kita harus ke Jakarta, Dit." 

Air matanya menetes, deras. Tatapannya kosong. 


Kupu-Kupu Tak BersayapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang