TERNODA

324 65 3
                                    


05.00

Semburat jingga sebentar lagi menampakkan diri dari ufuk timur. Gadis itu menatap kosong jendela dengan tirai putih yang menyelimutinya.

"Makasih, San. Memuaskan." Lelaki itu menatap Sandi dengan senyum simpul. Sandi tak menggubris sedikit pun saat lelaki itu memegang dagunya.

"Lain kali lagi ya,'' ujar lelaki itu dengan tatapan nakal.

"Gue bukan cewek murahan!" air matanya jatuh. Melempar bantal dan apapun yang bisa dilempar ke lelaki itu. Rasanya semesta begitu kejam, sangat kejam.

"Terus apa,San?" Tanya lelaki itu sambil tertawa.

"Lo kira semua bisa dibeli pake duit, Hah?"

"Ya nyatanya gue bisa beli ini semua pake duit dan lo juga nerima duitnya kan. Gak usah munafik lah. Sama-sama enak, kok."

"Dan gue bayar lo nggak sedikit, loh."

Sandi menatap lelaki itu tajam.

"Apa? duit?''

"Gue nggak nerima seperak pun dari lo!"

"Hah? ada tuh di bapak lo." 

Jas berwarna hitam dengan dasi biru itu sempurna melekat di tubuhnya. Ia menyisir rambutnya yang basah di depan cermin. Sandi hanya bisa menatap tajam dengan air matanya yang tak bisa berhenti mengalir.

Lelaki berperawakan tinggi, berkulit putih bersih itu terlihat bukan orang sembarangan. Dari gurat-gurat wajahnya ia Nampak masih muda. Mungkin sekitar 20 sampai 30 tahunan. Ia juga Nampak gagah dengan postur tegap dan dada bidangnya.

"Tuhan, mengapa jalan hidupku begini? Apa salahku?" gumamnya dalam hati.

Hatinya remuk. Dia sudah ternoda oleh lelaki yang tak ia tahu berasal dari mana.

"Lo kalau butuh duit bisa kok hubungin gue, San.'' ujar lelaki itu santainya sembari melenggang mengambil tas di sofa.

Sandi masih tak menggubris. Ia masih tak bias berdamai dengan dirinya sendiri. Bulir-bulir air mata terus beruraian. Remuk.

"Cantik, gue berangkat kerja, ya. Nomer telepon gue udah ada di kartu nama ini. See u. Makasih buat malem yang indahnya," ujarnya lagi-lagi sembari memegang dagu gadis itu.

Kejam, lelaki itu melenggang santai keluar menyisakkan anak manusia yang hanya bisa bersendu sedih.

Husein Ganang Wijanarko. Ia sekilas melihat nama itu. Air matanya masih berjatuhan.

"Bodoh!" teriaknya kencang.

Sesosok lelaki paruh baya masuk kamar itu.

Sandi benar-benar tak mau melihat batang hidungnya.

"Mudah kan kerjanya? Nanti om bakal transfer duitnya ke kamu. Cukup buat operasi adek kamu. Adek kamu udah om titipin ke panti, tapi bukan di tempat Warda. Lumayan jauh tempatnya. Pokoknya saya yang akan buat skenarionya."

"Kenapa om tega njebak Sandi?" Tanya gadis itu dengan tatapan terus berpaling.

"Jebak?"
"Eh, San. Ya kali Om bakal ngasih kamu duit sebanyak itu Cuma-Cuma."

"Jadi Om selama ini mucikari dan bu Warda nggak tahu?"

"Bisnis kafe Cuma sampingan, bisnis ini lebih menjanjikan."

"Husein kayaknya suka sama kamu. Nanti kalau dia mau lagi, Om kabarin yah."

"Hah?"

"Pergi dari sini!" teriak Sandi nyaring.

Semalam ia diajak omnya itu ke hotel itu dengan alasan akan bertemu dengan kliennya yang menawari Sandi jadi penyanyi tetap di kafenya yang baru di Jakarta Timur, tapi ternyata suami bu Warda menjebaknya dengan memberi obat perangsang ke minumannya.

Beberapa hari berlalu, Sandi masih berada di sana. Pucat, ia hanya minum tanpa makan. Rasanya tak ada gairah untuk makan. Selera makannya benar-benar sirna. Ia hanya menatap kosong di sekeliling. Gawai? Ia saja lupa di mana ia menaruhnya. Teman-teman? Kuliah? Rasanya semua tak melintas sedikit pun di pikirannya.

"Mama,Papa, Sandi kangen."
air matanya menetes lagi dan lagi.

"Andai waktu itu perampok itu nggak masuk rumah kita, Ma,Pa, pasti kita hidup bahagia sekarang. Pasti semuanya nggak kaya gini."

"Tuhan, mengapa jalan hidupku begini?"

"Pa, Sandi capek. Sandi capek. Andai Papa masih ada, Papa pasti bakal jadi garda terdepan buat Sandi dari orang-orang jahat itu."

"Papa.."

"Papa denger Sandi kan, Pa." air matanya begitu terurai. Sakit begitu sakit. Ia benar-benar kehilangan separuh raganya. Menguap begitu saja.

Tiba-tiba perutnya merasa tidak enak. Ia terasa mual. Seketika ia berlari ke kamar mandi. Perutnya begitu tak nyaman, ia terus mual.

Ia melempar sesuatu ke kaca. Sempurna, kaca itu pecah. Retak, rumuk, tak karuan.

Ia benar-benar berantakan.

KAMPUS

"Ka, lo tahu nggak Sandi kemana?" Tanya Galih pada Ilka.

"Enggak, Lih. Sandi akhir-akhir nggak masuk kelas. Apa dia sakit,ya?"

"Kafe tempat dia kerja juga tutup terus. Gue jadi khawatir. Apa dia ke tempat bu Warda,ya?"

"Em.."

Beleum selesai Ilka berbicara hp Galih derdering.

"Wa'alaikumsalam. Maaf ini siapa, ya?"

"Julia? Hah? Kak Sandi pergi?"

"Pergi ke mana?"

"Oke-oke, kak Galih ke sana, ya."

"Siapa, Lih?"

Tak sempat menjawab pertanyaan Ilka, Galih langsung berlari. Segera mengambil motornya yang terparkir di parkiran gedung A.

***

Kupu-Kupu Tak BersayapTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang