10.15Seharusnya aku sudah duduk di kelas asik makan bekal sama anak-anak yang lain. Tapi sekarang aku masih stuck di depan lapangan, menemani Renata yang daritadi memohon nilai tambahan sama guru olahraga sekolah kami. Kalau saja Renata bukan temanku mungkin sekarang aku sudah tinggalin dia di lapangan.
"Gagal total."
Renata menekuk mukanya, tangannya ia lipat di depan dada. Bahkan wajahnya sekarang lebih galak dibanding wajah Pak Galih saat menolak permohonan Renata.
"Kenapa?"
"Katanya gue telat seminggu." Renata mendahului aku berjalan meninggalkan lapangan. "Padahal gue aja baru tau ada test kemaren?"
"Apes banget." Balasku seadanya, maaf ya Renata aku lagi lapar banget gak ada mood buat bales keluhanmu sekarang.
"Eh Vi, sadar gak lo?" Tanya Renata berbisik.
"Apa?"
"Arah kantin, rombongannya Kak Haril ngeliatin kita tau!"
Aku hendak menengok ke arah kantin, namun Renata lebih cepat menahan kepalaku.
"Jangan se-obvious itu nengoknya!"
"Ya terus gimana cara gue liatnya?" Tanyaku sewot.
"Gini." Renata melirik ke arah kantin, namun kepalanya masih lurus menghadap ke depan.
Tanpa sadar aku malah tertawa melihat ekspresi yang Renata contohkan.
"Lah malah ketawa, kenapa ya dia ngeliatin kita?" Tanya Renata penasaran.
Aku mengangkat kedua bahuku. "Mungkin abis liat lo mohon-mohon ke guru se-galak Pak Galih terus mereka salut sama lo." Jawabku asal.
Sebenarnya aku ingin melirik ke arah rombongan Kak Haril, karena aku yakin seratus persen kalo laki-laki berjaket khaki yang duduk di samping Kak Haril itu Kak Surya.
Kak Surya yang kalo senyum bikin sel-sel di otak aku panik. Kak Surya yang kalo main futsal bikin aku tega mencubit Renata. Kak Surya yang kalo menyapaku selalu disertai senyuman.
''
Meet Viorel Yerim Chintya,
KAMU SEDANG MEMBACA
Surya.
Short StoryNamanya berarti matahari Senyumnya seperti embun pagi Kedatangannya selalu kunanti +lokal +au [ completed ]