[two] to [ten]

3.5K 302 8
                                    

Bibir itu terasa menipis karena terkulum terus menerus. Mata seketika memandang dua orang sedang berdiri dengan gusar. Walaupun dia berdiri belakang mereka, sedangkan satunya berada nun jauh beberapa meter.

Satunya adalah seorang pria. Sangat dikenalnya. Pernah mencintainya dan dicintai. Bahkan merelakan hatinya lepas bersama pernikahan dia—sekarang telah hancur. Satunya adalah seorang wanita. Meski berupa siluet, tetapi dia yakin takkan salah melihat.

Betapa gelisahnya seorang wanita dan pria di depan matanya sendiri. Mereka tak saling bertatapan. Apalagi keduanya hanya menjaga jarak. Entah rahasia apa disembunyikan pria itu terhadapnya. Akankah sama dengan si pelaku?

Netra emas itu siap melontarkan air mata. Semua itu pasti dusta. Kenyataan diterimanya mengenai pria itu membuat dia tak mampu mempercayai. Kalimat pada Arlie tentang pembahasan pembicaraan mereka.

Apa maksud dari omongan Gio?

Remasan mengejutkan Adora, bikin wanita beranak satu menoleh. Mata itu memelotot. “Alice?”

Tatapan Jelice tak membalas. Dia mengesampingkan itu dan memilih melihat dua orang. Pria dan wanita. Sudut bibir Jelice bergerak. Akhirnya mengalihkan pandang ke arah Adora.

Believe.” Jelice melingkari leher Adora. “Aku yakin lelaki itu tidak akan mengkhianati kalian. Aku tahu sebagaimana pentingnya Reon dan Cloudy bagi hidupnya.”

“Karena mereka sahabatnya,” pungkas Adora.

“Ya.” Jelice mengangkat kepala, lalu menatap kepergian siluet wanita tersebut. “Tapi akan berbeda bila kakak kita mengetahuinya bahwa ada yang mengkhianatinya.”

“Oh, Tuhan.” Adora meneteskan air mata, meski terus membendungnya. Sepasang tangan terkatup, menempel di bibirnya. Membekap isakan. “Aku tidak tahu bagaimana membicarakan ini pada dia. Apa dia bisa menerima semua ini?”

“Selama ada seseorang di sisinya, semua baik-baik saja.” Lengannya terangkat, melirik detik demi detik telah berlalu. “Kamu sudah lama di sini sejak Arlie ditangkap. Ayo masuk, Kak. Jangan berlama-lama di sini, nanti orang itu curiga kita menyelidikinya.”

“Gio berbeda. Dia sudah tahu.” Adora melirik punggung Gio sambil bergumam. “Aku kenal baik dengan karakter pria itu.”

“Sebelum diambil George secara paksa,” sela Jelice membungkam mulut Adora selanjutnya.

Tak ingin kena marah, Jelice segera masuk perkarangan villa. Sementara Adora mendengkus. Dengkusan mengagetkan Gio hingga berbalik badan. Alisnya terangkat naik kala melihat Adora juga menoleh ke arahnya. Mereka jadi tersenyum malu-malu.

Acer tak sengaja lewat melihatnya, sangat bahagia mereka masih menyimpan cinta. Walau hasil itu perlu diperjuangan lagi, mengingat Crescencia belum terima keberadaan Gio. Merasa anaknya itu masih cenderung lemah dalam menghadapi wanita atau kehidupan.

***

“Amma!” Cloudy berlari menuju Marinka, mengulurkan tangan kecilnya meminta gendong. “Amma, endong. Hug me!” serunya tak kalah antusias.

Binaran mata polos cucunya membuat Marinka tak berdaya. Usia telah menaik, tetapi badannya tetap fit. Dengan sekali jepitan di ketiak, Marinka mengangkatnya dan memeluk Cloudy. Marinka sangat merindukan cucunya, meski terhalang ego dan keegoisan.

“Amma?” Reon baru selesai cuci muka, terperangah cara panggilan Cloudy kepada Marinka. “Seharusnya Nenek atau Oma, Honey.”

No hani,” gerutu Cloudy tak suka dibilang madu.

Reon dan Marinka terkekeh.

“Terus, kenapa menyebut Amma?”

“Amma ya Amma.” Cloudy berusaha mengeja dari kata Grandma. Tetap saja ucapan yang dikeluarkan tetap Amma dari Grandma. “Amma, Daddy, Amma.”

Good Time ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang