[one] to [five]

7.8K 524 14
                                    

Dalam kamar Cally, dokter Sandy memeriksa kondisi kesehatan anak perempuan pertama di keluarga Alfonso. Menekan dada menggunakan stetoskop, dokter Sandy merasakan keluhan Cally saat menyentuh di situ.

Di sebelah ranjang, Reon menggenggam tangan adiknya. Reon menatap dokter Sandy yang merupakan kawan lama ayahnya. Usia yang telah memasuki paruh baya, membuat Reon dan keluarga tetap mempercayai keahlian dokter Sandy dibanding dokter lainnya.

"Bagaimana Miss Cally, dokter?" tanya Acer memulai pembicaraan.

Dokter Sandy mengembuskan napas panjang. "Obat yang saya kasih tadi pagi sepertinya belum menyembuhkan kesakitan yang sekarang. Malah tambah parah. Tolong, biarkan dia beristirahat sejenak. Saya takut kondisi Callila semakin parah."

Sedari pagi, Reon meminta Jollie menghubungi dokter Sandy untuk memastikan keadaan Cally baik-baik saja. Peristiwa Arpy dalam menendang dada Cally meyakinkan bahwa keakraban dilakukan Cloudy dan hewan-hewan di pertenakan, membuat Reon geleng-geleng kepala.

Cloudy, anaknya sungguh pintar. Di usia menjelang tiga tahun, Cloudy mampu berinteraksi dengan hewan-hewan peternakan.

Dan sebagai anak laki-laki kedua, Reon hanya membiasakan terjerumus berkas perusahaan. Menggoda para wanita-wanita demi melampiaskan kesepian kala ditinggalkan ibunya Cloudy.

"Kalau Callila masih merasakan sakit di bagian dada, lebih baik dirujuk ke klinik terdekat," saran dokter Sandy. "Atau Rumah Sakit di daerah ini."

Sembari mengemas peralatan kedokteran, dokter Sandy mengelus rambut Cally yang tengah tertidur pulas. Dokter Sandy sudah menganggap Cally sebagai anaknya. Di usia muda, anak-anak sahabatnya telah kehilangan kedua orang tua.

"Cepat sembuh, Sayang," ungkap dokter Sandy sangat menyayangi Cally. Lalu, menolehkan ke arah wanita di belakang Reon. "Kamu juga, Nak. Jangan hiraukan dia. Dia tidak pantas kamu tangisi."

Kikuk, wanita itu hanya tersenyum tipis dan menganggut pelan.

Dibantu Acer, dokter Sandy pamit pulang. Seolah mendapat pencerahan, dokter Sandy menghentikan langkah. Beliau berbalik dan menatap Reon lamat-lamat.

"Nak Reon," panggil dokter Sandy. Reon mengangkat kepala, membalas tatapan dokter Sandy. "Ketahuilah, sebaiknya kamu menyelesaikan urusan yang sempat tertunda. Tidak baik 'kan, masalah itu tertahan berlarut-larut."

Penuturan dokter Sandy membikin Reon mengerutkan kening. Setelah menghilangnya dua pria paruh baya, Reon belum mampu mencerna perkataan dokter Sandy.

"Bodoh," gumam wanita di belakang Reon. Pria itu jelas-jelas tidak tuli, Reon mendengarnya sangat jelas umpatan berupa gumaman tersebut.

"Katakan sekali lagi," kata Reon menolehkan kepala, menyipitkan mata.

Wanita itu bersedekap. "Aku bilang, kamu bodoh."

Reon menghela napas lelah. "Adora, kumohon hentikan umpatan itu. Memangnya aku terlihat bodoh?"

"Ya," pungkas Adora, adik Reon di bawah Cally. "Saking bodohnya, tapi tidak menyerap kata-kata dokter Sandy."

"Hei, aku tidak bodoh!" Reon mengacak-acak rambutnya, kesal. "Cally masih pingsan dan kamu memanas-manasi aku. Begitu?"

Adora berdecak. Wanita sangat berwibawa itu beranjak dan siap keluar dari kamar Cally. Sebelum menutup pintu, Adora melirik Reon dari sudut mata. Mata hijau Adora berkilat misterius.

"Jika kamu tidak sanggup mengutarakannya, biarkan aku melanjutkan."

Tak tahu apa pun, seolah malas berpikir, Reon mengibaskan tangan. "Terserah kamu. Aku hanya butuh istirahat."

Good Time ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang