Hujan mengguyur Tokyo di tengah gulita malam, sepi? Bukan kota besar namanya jika sepi. Meski hujan menerpa kesibukan masih terlihat disana, tidak ada kata berhenti bergerak walaupun detak jam sudah berada di pukul 9 malam.
Aku membersihkan meja-meja yang kosong di restoran, menyusun bangku yang berantakan dan itulah rutinitasku sebelum restoran tutup. Pelanggan yang semuanya datang dan pergi, kini sudah mulai menepi ketempat masing-masing.
"Fatmah, ini ada sedikit sisa kari kambing untuk kamu." bosku, nyonya Lafisya, memberikan ku kotak makan berisi kari kambing.
"Untuk saya?" tanyaku kebingungan harus merespon bagaimana.
Lafisya terkekeh, "Bawa saja pulang, Fatmah. Anggaplah bonus." katanya sembari memberikan senyuman yang lembut.
Aku tersenyum, "Terima kasih, nyonya Lafisya."
"Baiklah, kau bisa pulang sekarang. Aku akan menutup tokonya." Ujar Lafisya meraih kunci toko yang tergeletak di atas meja kasir.
Aku mengangguk, "Baiklah, kalau begitu. Sampai jumpa besok."
"Sampai jumpa."
Dengan sebuah payung aku berjalan pulang menuju rumah, melewati jalan yang basah karena hujan. Tidak banyak orang yang lalu lalang di trotoar malam itu. Aku juga bisa melihat jalanan mulai sunyi dari kendaraan yang lewat, hanya beberapa bus saja yang melintas.
Penasaran dengan waktu, aku mengangkat tangan untuk melihat arloji milikku. Jam 10, aku terkesiap saat melihat jam. Aku mempercepat langkah menuju rumah, kemudian aku ingat sebuah gang kecil yang bisa menjadi jalan pintas.
Aku menemukan gang tersebut, namun terdengar suara tawa yang menganggu batinku. Sedikit aku mengintip dari balik tembok bagunan di depan gang, ternyata ada tiga pria bertubuh besar sedang berdiri disana.
"Ya Allah, aku harus bagaimana?" Gumamku.
Pikiranku menjadi kalut, aku harus segera pulang ke rumah. Aku perlu melewati gang tersebut agar memotong jalan, namun aku merasa takut jika para pria itu melakukan sesuatu padaku.
Aku menarik napas dalam-dalam, "Baiklah." dengan nyali sebesar petarung tinju, aku masuk kedalam gang.
Langkahku terasa berat, bahkan tanganku yang sedang memegangi payung gemetaran. Aku berulang-ulang menggumamkan ayat kursi dan memohon perlindungan kepada Allah SWT.
Aku terus menundukkan pandangan kebawah, aku terus mengulangi bacaanku. Kedua mataku bisa melihat sepatu yang dikenakan oleh ketiga pria itu, namun mereka sama sekali tidak bergerak.
Di ujung gang aku melihat kebelakang untuk memastikan aku tidak diikuti, aku langsung ambil langkah seribu menuju kedepan sebuah warung ramen. Nafasku terengah-engah, "Alhamdulillah."
Penuh syukur aku berjalan dengan tenang ke rumah, beberapa langkah saja aku sudah di depan rumah. Aku mengambil kunci yang ada di dalam tas dan membuka pintu.
Rumah sederhana tanpa banyak barang dan tenang, aku menutup pintu.
"Lainkali aku tidak akan lewat sana kalau malam." kataku, kemudian aku melepaskan mantel dan meletakkan barang-barangku di kamar.
"Baiklah, sekarang aku bisa santai..." aku mengambil laptop, "...Dengan nugas."
Di layar laptop, sebuah dokumen terbuka dengan kalimat-kalimat yang baru setengah selesai. Aku mencoba menulis tetapi kata-kata seolah menghilang dari pikiranku. Setiap suapan kari seakan membawa sedikit kenyamanan di tengah kebuntuan ini.
Suara dari televisi bergema di latar belakang, menciptakan suasana yang akrab namun tetap terasa hampa. Berita tentang kejadian terbaru dan iklan yang berulang-ulang, semuanya menyatu menjadi satu kebisingan yang monoton.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ummi & Abi [REVISI]
RomanceJadi ibu itu gak gampang ya, apalagi single mom pasti lebih susah lagi. Tapi sesulit apapun cobaan harus tetap dilewati dengan semangat, insyallah Allah pasti akan membantu jika kita ikhlas dan kuat. -END