Part 29

3.2K 425 40
                                    



Faiz's POV

Aku berdiri tegak sambil mengatur napas, menatap raut wajah bapak mertua yang tampak tidak bersahabat. Ah, sudah cerita apa Aluna pada orang tuanya?

"Faiz? Kamu manjat pagar?!" Bapak menatapku tajam, bergantian dengan pintu pagar yang terkunci. Suaraku tercekat di tenggorokan tanpa bisa menjawab.

"Pak! Sudah malam, bicaranya di dalam saja!" tegur emak yang muncul dari belakang.

"Masuk!" seru Bapak sambil menggulung ujung sarungnya di pinggang, lalu beranjak masuk.

Huft!

Aku mengelus dada lega. Kemudian menyusul masuk dan menutup pintu, lalu menguncinya.

"Kenapa kalian pulang terpisah? Terus itu Aluna kenapa menangis?" tanya bapak dengan suara datar saat aku duduk di hadapannya.

Aku menghela napas sejenak. Bingung juga kalau harus menjelaskan sekarang. Padahal ini cuma salah paham.

"Maaf Pak, Emak. Ini cuma salah paham antara Faiz dan Aluna. Belum sempat dijelaskan, Aluna sudah marah dan pulang duluan," kataku pada akhirnya, walaupun terpaksa berbohong. Untunglah Aluna-ku tidak menceritakan apa pun pada orang tuanya.

"Salah paham apa, toh? Masa iya, istri kamu sudah pulang sejam yang lalu, kamu baru pulang sekarang?!" Bapak menatapku curiga.

Aku mengusap wajah kasar. Ragu jika menjelaskannya pada Bapak dan Emak, sedangkan yang harus mendengarkanku saat ini adalah Aluna.

"Maaf, Pak, Mak. Bukan maksud saya tidak sopan. Tapi tolong biarkan saya dan Aluna bicara dulu, mungkin jika dia tetap tidak bisa mendengarkan, kami akan membicarakanya dengan Bapak dan Emak," ujarku akhirnya dengan lancar.

Bapak mengangguk, begitupun dengan Emak.

"Ya sudah. Kalian bicara saja. Bapak pikir kamu maling. Ditunggu-tunggu, malah manjat pagar." Bapak terkekeh dengan ucapannya sendiri. Aku cuma bisa menggaruk tengkuk salah tingkah.

"Sudah salat kamu, Nak?" tanya emak.

Astagfirullah...

"Belum, Mak," jawabku cepat.

"Ya sudah, sana salat dulu. Kayaknya Aluna masih nangis di kamar. Kasihan Si kembar," kata Bapak.

Aku mengangguk, lalu pamit ke belakang untuk wudhu. Untung kedua orang tua Aluna memang pengertian, walaupun istriku itu anak kesayangan mereka. Tidak bisa terbayangkan jika aku mendapatkan mertua galak sedangkan istriku labil. Bisa-bisa menduda muda!

Astagfirullah! Jauhkan!

💞💞💞

Aku membuka pintu kamar Aluna perlahan. Terdengar samar isak tangisnya. Ah, aku paling benci mendengar tangisannya. Apalagi itu karena aku!

Aluna tidur memunggungi pintu bersama kedua bayiku. Alfa sudah tidur, sedangkan Nafa? Oh, sedang menyusu rupanya.

Aku menggelar sajadah biru milik Aluna, lalu mulai melaksanakan kewajiban sebagai makhluk ciptaan Allah. Namun, salatku tidak bisa khusyu' karena isakan Aluna yang makin terdengar.

Takdir Kita (Sequel Cinta yang Memilih) REVISITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang