Part 3

14.4K 1.3K 20
                                    

Aku dan Nami pamit pulang setelah 15 menit berlalu, tante Belinda memaksa kami tinggal lebih lama lagi. Begitupun tante Mey yang ingin lebih lama jumpa dengan teman lamanya, sayang aku tidak ingin berada dalam satu ruangan lebih lama lagi dengan lelaki itu, namun tentu saja tidak ku katakan. Aku membiarkan tante Mey yang ingin berada disana lebih lama lagi.

Aku memutar bola mataku ke atas, aku cukup peka ketika tatapan Nami dengan raut penasaran sedari tadi.

"Jadi, kalian saling kenal?"

"Siapa?" Tanyaku pura-pura tidak paham yang di maksudnya.

"Kalian! Kamu dan cowok ganteng tadi." Aku menghembus napas lelah. Entah mangapa kini aku merasa dongkol mengingat lelaki itu lagi, lebih tepatnya pengakuannya tadi.

"Engga lah, orang dia yang bilang sendiri kan kalo dia enggak kenal aku." Ucapku meniru pengakuan lelaki tadi, ck aku bahkan dapat mendengar nadaku yang ketus.

"Bener kamu ga sama kenal dia?" Kini mata perempuan itu menyipit, tanda dia sangsi dengan kebenaran yanh aku katakan.

"Pliiiis Mi, enggak disini. Maksudku, berhenti membicarakan hal yang tidak penting!"

Kami berdua keluar dari Rumah sakit tersebut menuju arah perkiran, tapi baru saja aku menstarter mobil, Nami kembali bertanya.

"Jadi?" Aku mengabaikannya dan membawa mobil keluar dari area parkir.

"Bi?" Rengekenya yang mambuatku menghela.

"Jadi, kita pulang." Balasku datar.

"There something between you and him?"

"Nothing happened between me and that guy. Jadi, tolong berhenti main detektif-detektif an."

"Apa dia mantan kamu?" Aku memutar kedua bola mata, "kalian punya masalah di masa lalu? Atau," ku lirik sebentar Nami mengetuk dagu dengan jarinya, "dia pernah kamu campakan?" Aku menulikan telinga, membuarkan dia bernarasi sendiri.

"Kalian pernah menjalin hubungan, tapi ga berhasil terus putus terus karena pada sakit hati kalian berpura-pura ga saling kenal kalo ketemu. Iya?" Dia melihatku. "Itu alasan paling tepat kenapa dia pura-pura enggak kenal kamu!" Putusnya yang sama sekali tidak tepat. Aku sudah tidak tahan.

"Yang paling tepat adalah. Kita memang gak saling kenal. Ya Ampun tolong Mi, apa ada bahasan yang lebih penting dari ini? Yuk kita bahas." Mobilku berhenti karena lampu merah, jadi aku bisa menengok ke samping dimana Nami masih menampakan raut penasaran.

"Kamu sadar engga sih, kamu bakalan pergi lagi dalam beberapa jam, masa iya waktu yang sempit ini kita lewatin cuman untuk ngebahas anak orang yang bahkan kita gak kenal." Ucapku memelas lalu kembali menjalankan mobil karena lampu sudah berubah ke hijau lagi.

"Justru karena aku disini hanya beberapa jam lagi, kamu jahat kalo nyembunyiin sesuatu dariku. Karena aku gak mau ngebahas lagi hal ini melalui telpon."

"Justru itu," aku menirunya. "Lebih baik jangan kita bahas lagi."

"Tapi aku pengen denger ceritanya langsung, dan sekarang." Apa dia todak mendengar kalimatku?

Kami susah sampai di depan Florish, tanpa menggubrisnya aku keluar lebih dulu, malas menjawabnya. Tapi Nami buru-buru berlari mengikutiku.

"Menghindar enggak akan membuat kamu lepas dariku." Rasanya aku menyesal mengajak Nami ikut tadi.

Ini perempuan memang pantang menyerah jika keponya sudah terusik, terutama jika itu hal yang menurut dia sesuatu yang aku sembunyikan. Nami ini kayak anjing pelacak, dia bisa mencium dan menemukan benda yang tersembunyi. Dan aku menyerah.

Aku berdecak karena tau dia tidak akan berhenti bertanya jika belum mendapat jawabannya, aku melihat jam tangan di pergelangan tanganku, jarum kecil di dalam mengarah ke bawah sebelah kiri tepatnya menunjuk angka 5 sore.

"Jadi beneran nih waktu beberapa jam kebersaan kita akan di habiskan dengan mambahas hal ini?" Nami mengangguk setuju. Aku membawanya ke atas, setelah kami berdua berada di kamarku. Aku menarik napas, mempersiapkan diri untuk kembali mengungkit goresan samar di hatiku.

"Dia Adam."

"Aku belum lupa namanya Bi." Aku berdecak karena dia memotong kalimatku.

"Lelaki yang dulu pernah mempermalukanku di kantin sekolah." Keningnya mnegerut, ia pasti bingung. Jujur saja membahas masa lalu itu lagi membuatku harus kembali mengingat hal yang sudah dengan susah payah aku lupakan, yah ini semua karena Nami.

Aku dan Nami memang bersahabat dari kecil, bersekolah yang sama sejak tk, namun setelah ibu Nami meninggal ketika kami di kelas 5 sd. Nami di bawa pindah om Satria, nama Ayah Nami. Meskipun kamu pernah hilang kontak, dan berhubungan kembali setelah beberapa tahun kemudian.

Jadi cerita ini belum pernah aku beritahu padanya, dan karena aku juga ingin melupakannya, enggan mengingat kembali hal yang bisa membuatku menagis karena sesuatu yang sudah lewat.

Kini aku harus mengorek kembali kenangan yang tersempil di salah satu ruang ingatanku. Menceritakan sesuatu hal yang membuatku menangis dulu, namun ketika ku ceritakan kini pada Nami, tidak ada air mata menyusul melainkan rasa penyesalan kenapa dulu ia bisa menyukai remaja laki-laki itu!

"Ah dunia memang sempit, aku bahkan gak tau harus ngapain dia Bi. Kalo tau dia laki-laki yang buat kamu malu, antara pengen nabok tapi gak tega." Aku menyelesaikan ceritaku dengan lalu mendelik mendengar ucapan Nami setelahnya, apanya yang enggak tega coba.

"Aku enggak mau ngerusak ciptaan Tuhan paling indah itu dengan kelima jari-jari tanganku." Aku mendengus dongkol, bisa-bisanya Nami ngomong begitu.

"Yang namamya jodoh pasti di pertemukan kembali yah Bi." Aku melihat Nami bingung. Lalu mendengus kesal setelahnya.

Hey apa maksudnya coba? Oh yang benar saja. Meskipun tidak membencinya, tapi aku tidak ingin lagi terlibat dengan lelaki itu.

***

"Kamu telat Mi." Mataku berpindah dari jam di dasboard dan antrian kendaraan masuk bandara.

"Masih ada 10 menit lagi Bi." Aku menyembunyikan klakson, meminta mobil di depabku untuk segera maju. Entah bagaimana mobil hitam itu selalu lambat menjalankan mobilnya, padahal mobil yang di depannya sudah jalan sedari tadi.

Nami ikut parkir denganku alu kami turun bersama. Ia melewati penjaga yang memeriksa tiket di depan sebelum masuk, setelah berpelukan Nami masuk melewati penjaga tersebut dan melambaikan tangannya padaku sebelum berlari kedalam.

Aku akan sangat merindukan perempuan itu. Meski jarak Bali-Jakarta begitu jauh, namun tetap saja ada rindu dalam hati kami karena tidak setiap waktu kami bertemu. Aku menghela katika tidak lagi melihat bayangannya.

Aku hendak berbalik, namun mataku menangkap soseorang yang membuat kakiku sulit untukku gerakan. Aku menggeleng bahkan untuk menyakini diriku sendiri aku menggosok kedua mataku. Mataku tidak salah, itu memang dia, kenapa kebetulan sekali?

Aku terus memperhatikannya, dia berdiri diantara orang-orang yang menunggu dibagian kedatangan, kepalanya merunduk kearah jam di tangannya.

Apa dia sedang menunggu seseorang? Lalu ia berjalan beberapa langkah, mataku mengikuti pergerakannya. Tanganya melambai kedepan, aku melihat ada wanita yang tengah berjalan keluar dari pintu kedatangan, wanita berambut boobs sebahu itu menghampirinya, mataku mengarah ke samping wanita itu yang sedang menuntun seorang anak perempuan?

Lelaki itu merentangkan kedua tangannya menyambut pelukan gadis kecil, kulihat ia memberikan kecupan sebelum menggendongnya. Tanpa melepaskan gadis kecil itu dari gendonganya, dia beralih memeluk perempuan yang sepertinya sudah menunggu sedari tadi.

Aku memalingkan wajah ketika kepala lelaki itu menoleh kearah ku. Membalikan badan dan melanjutkan langkahku yang sempat tertahan, tergesa ingin segera pergi dari sana. Jangan sampai dia melihatku. Dalam langkahku, batinku bertanya-tanya.

Apakah wanita dan anak perempuan itu keluarganya? Isteri dan anaknya kah?

Aku berdecak, tidak lupa mengetok kepala. Kenapa aku peduli? Jika pun memang benar wanita itu istrinya dan anaknya, sama sekali bukan urusanku!.

***

Bersambung.

Kau Adalah... (Sudah Tersedia Di Googleplay)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang