Part 14

12.4K 1.2K 22
                                    

Perayaan ulang tahun Michel sudah berlalu berminggu-minggu yang lalu, kejadian makan sepiring berdua pun harusnya sudah lenyap dari pikiranku. Tapi hingga saat ini kepalaku seolah di penuhi dengan sosok Adam, kedekatan kami di meja makan itu. Aku sempat berpikir jika otakku sudah koslet setelah pulang dari rumah keluarga Prasaja. Gerakan rahang Adam yang tengah mengunyah makan terekam di kepalaku.

"Kak Abi? Kok malah melamun?"  Aku mengerjap mata, sambungan ingatan  itu seketika putus. Wajah Maya menatap heran melihatku. "Pasti lagi ngelamunin mas Adam yah?" Mataku melebar, dia tidak mungkin bisa melihat ke isi kepalaku kan? "Keliatan banget dari wajah kak Abi." Aku menyipit, sejak kapan Maya- "Karena enggak mungkin kan kak Abi lagi ngelamunin Maya." Pecahlah tawanya. Dasar gadis itu, aku mendeliknya.

Suara getaran ponsel yang ku taruh di dalam laci bawah memberi tanda jika ia menerima pesan. Bersamaan dengan denting tanda dipintu masuk Florist yang terbuka.

"Selamat dat-"

"Abi?" Tanganku hendak terulur untuk membuka laci tersehut ketika seseorang memanggil namaku. Kepalaku terangkat, keningku berkerut untuk sedetik kemudian berganti dengan dengan wajah terkejut. Seorang lelaki berpakaian rapi khas orang kantoran menghanpiriku. Wajahnya tak kalah terkejut namun kemudian bibirnya tersinggung senyum.

"Hilan?"

"Hai, apa kamu kerja disini?" Tanyanya.

"Iya," jawabku. "Ada yang bisa saya bantu?" Dia tersenyum hangat.

"Saya lagi cari bunga." Ujarnya seraya mengedar pandangannya.

"Cari bunga apa?"

"Entahlah, sepertinya saya butuh bantuan kamu. Bunga disini cantik-cantik sekali, saya bingung harus mengambil yang mana?"

"Untuk siapa kalo saya boleh tau?" Aku keluar melewati pembatas kasir. "Disini banyak pilihan macam bunga, tergantung untuk siapa kamu memberikannya." Aku merasakan Hilan mengikutiku, dan kami berhenti di sekumpulan bunga mawar segar yang baru di beri semprotan air oleh Maya tadi.

"Yang ini cocok di kasih untuk seseorang yang spesial. Biasanya bunga mawar tidak gagal untuk membuat wanita senang. Mau saya buatkan bouquet?" Keningnya malah berlipat.

"Ku pikir Mamah lebih suka bunga untuk dipiara?"

"Apa? Maksud kamu ingin memberikannya pada tante Sania?"

"Tentu saja, memang kamu pikir saya akan memberikannya pada siapa?" Aku menggeleng. Tidak tahu jika ternyata dia mau memberi bunga untuk ibunya. Aku menunjuk beberapa pot yang menanang berbagai bunga. Tanganku mengarah pada pot yang kedua, bunga Lily putih.

"Selain bunganya yang cantik. Kalo di rawat dan di budidayakan, tanaman hias ini bisa untuk mengibati beberapa penyakit. Apa perlu saya kasih tahu caranya?" Dia tersenyum dan menggaruk kepala belakangnya.

"Kayaknya kamu yang harus memberitahu langsung pada Mamah. Saya buta soal bunga, dan gampang lupa kalaupun kamu sudah memberitahunya." Aku tersenyum maklum, jarang memang laki-laki yang menyukai bunga apalagi ingin merawatnya.

"Jadi, mau ini aja apa mau lihat dulu yang lain?"

"Kalo menurut kamu itu oke, saya ambil yang itu."

"Saya hanya memberi beberapa pilihan, tentu saja kamu yang harus menentukannya."

"Bunga Lily saya suka." Aku mengangguk, ku ambil pot sedang tersebut. Kemudian berbalik ingin kembali ke kasir.

Aku batu ingat dengan keberadaan Maya yang masih berdiri di temoatnya tadi, matanya melihat Hilan tanpa berkedip. Aku sudah berada di depan Maya.

"May jangan melotot terus, matamu hampir keluar tahu" Mata tersentak, melihatku dan langsung mengecurutkan bibirnya. "Daripada diem kaya patung gitu, mending kasih minum tuh custumer kita."

Kau Adalah... (Sudah Tersedia Di Googleplay)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang