Part 8

12K 1.1K 23
                                    

Aku berbaring miring ke kiri lalu setelahnya ke kanan, telungkup untuk kemudian terbentang lagi. Aku mendesah, akhirnya hanya menatap langit-langit kamarku.

Pikiranku melayang pada pernyataan Adam tadi. Aku terus bertanya-tanya kenapa dia menerima perjodohan yang di rencanakan ibunya? Jawaban kurang jelas lelaki itu semakin membuatku tidak bisa tidur.

Kulirik jam di atas nakas jarum pendeknya menujuk angka satu, tapi kantuk belum kurasakan juga.

Aku harus kerumah tante Mey besok. Aku tahu jika rencana perjodohan itu tidak hanya dibuat oleh tante Belinda seorang, tante Mey tentu ada di dalamnya.

***

"Katamu akan menuruti tante untuk yang terakhir kalinya. Ingat Bi?"

"Abi enggak lupa tante, tapi tante juga gak bisa seenaknya jodohin Abi tanpa persetuajuan Abi!" Ujatku setengah membantak, ku lihat wajah tante terkesiap.

"Tante enggak tau kalo kamu bakal semarah ini sama Tante Bi. Maafin tante, tante cuma mau yang terbaik buat kamu." Aku menghela, raut tante Mey berubah muram. Seumur aku hiduo dengan tante Mey, aku tidak pernah sekesal ini padanya. Seberapa marahnya aku, aku tidak pernah membentak orang yang sudah mengurusku setelah kepergian kedua orangtuaku, dan kesal membutakan mataku untuk melihat siapa yang sedang bicara dengan ku saat ini.

"Enggak tante, Abi yang minta maaf. Maafin Abi bicara kasar barusan." Aku memeluk tante Mey, menyesal karena sudah bicara dengan nada tinggi.

"Tante ngerti sayang, karena gara-gara tante kamu bicara begitu. Tapi kalo boleh tante tau, kenapa kamu enggak mau di jodohin sama Adam?"

"Hah? Emh.."

"Adam kurang apa coba. Udah ganteng, pinter, terlebih dia itu anaknya sahabat tante juga mamah kamu. Masalahnya dimana?" Aku menghela napas, tante memang enggak tau masalahnya. Aku menyesal karena udah bicara keras tadi, padahal tante enggak tahu apa-apa.

Tante juga enggak tahu. Jika ini menyangkut hati yang ternyata belum sepenuhnya membaik..

Jauh dari dalam lubuk hatiku, rasa itu masih terasa. Rasa sakit, sesak, dan aku tidak mengerti kenapa hatiku harus berdebar ketika berdekatan dengannya?

Seketika ingatanku terlempar pada kenangan paling buruk dalam hidupku tiga belas tahun lalu.

Dulu aku memiliki tubuh yang berisi, tidak gendut hanya sebagian lemak di beberapa bagian. Aku seorang introvert ketika masih menjadi seorang siswi. Tidak ada teman yang cocok untuk ku ikuti, sahabat satu-satunya ikut pindah dengan Ayahnya.

Aku kurang percaya diri karena penampilanku yang tidak bisa di kategorikan enak di pandang, dan seperti kebanyakan remaja lainnya. Aku pernah mengagumi seseorang, seseorang yang di kagumi banyak orang.

Laki-laki remaja itu terbilang populer di kalangan siswa sekolahku dulu, setiap gadis di sekolah kami tidak ada yang tidak menyukainya terutama aku.

Aku sadar diri dan hanya bisa mengaguminya dari jauh, mencurahkan perasaanku tentangnya dalam sebuah buku catatan.

Lalu suatu ketika buku catatan keseharianku dan termasuk buku yang menceritakan akan perasaanku pada laki-laki itu hilang. Aku tidak tahu jika bukuku ada yang mengambil tanpa seijinku, hari itu pelajaran sekolah hanya setengah hari karena semua guru sedang ada rapat, dan semua kelas menjadi bebas. Aku ke kangin sekolah karena merasa lapar, dan kebetulan ada beberapa kakak kelas juga yabg sedang mencari makan atau hanya sekedar nongkrong disana.

"Kamu selalu menjadi purnama yang indah di atas langit sana. Hahaha norak banget enggak sih? Ya ampun." Aku yang baru duduk di bangku setelah membeli semangkuk siomay dan memilih meja sendirian, menajamkan telinga. Merasa tidak asing dengan kelimat yang baru saja di kumandangkan seorang kakak kelas perempuan.

"Itu hanya sebuah puisi."

"Tapi ada nama kamu disini, ini jelas di tunjukin buat kamu."

"Cewek bodoh mana yang nulis semacam itu?"

"Cewek bego pastinya, dan dia naksir kamu."

"Orang seperti itu bukan tipeku."

"Tapi kayaknya yang punya ini buku suka sama kamu."

"Sorry aku enggak tertarik."

"Kamu enggak tertarik? Hey, lo denger?" Aku mendongak untuk kemudian kembali menunduk ketika semua padang mata menatap ke arahku. Aku menatap siomay yang belum ku sentuh kala itu, dan memberanikan diri untuk berdiri karena lebih baik pergi dari sana. Namun baru saja aku melangkah tiga perempuan yang ju kenal sebagai kakak kelas, termasuk perempuan yang memegang buku yang ku kenal menghadangku.

"Bebek kampung jangan sok-sok'an naksir pangeran, tau kasta lah." Bahkan kini aku masih bisa merasakan dinginnya air es jeruk di kepalaku bahkan sebagian es yang sudah mengerut kecil masuk ke dalam pakaian seragamku, baju atasku berubah menjadi kuning karena jus jeruk tersebut. Penglihatanku terhalang airmata yang siap meluncur tapi samar aku melihat perempuan itu tersenyum miring dan menatapku dengan puas. Aku berlari keluar dari kantin di iringi tatapan seluruh siswa.

Itu adalah pengalaman paling buruk aku menyukai seseorang. Dan hari itu terakhir kalinya aku menginjakkan kaki di sekolahku yang lama. Karena kejadian yang tidak terduga lainnya, aku bisa pindah tanpa merengek ingin pindah.

***

"Aaaaah!" Aku mengerang frustasi bahkan sampai mengacak rambutku.

"Kamu kenapa Bi? Ada apa?" Aku lupa jika saat ini aku masih berhadapan dengan tanteku. Pikiranku yang melanglang ke masa lalu kini sudah kembali ke masa kini.

"Enggak papa tan. Jadi, batalin perjodohan itu yah tan?" Aku menyatukan kedua telapak tanganku dan memohon.

"Bi, coba sekali aja deh. Cuma sekaliiiii aja, pliiiis?" Tante malah ikut-ikutan melakukan yang aku lakukan. Aku mendesah putus asa.

"Tante kayaknya suka banget sama dia?" Ujarku lemas, kulihat tante Mey tersenyum senang. "Kalo gitu kenapa enggak tante aja?"

"Eh dasar ini anak, Om kamu itu mau di kemanain. Tante masih cinta Om mu."

"Yaudah."

"Kamu nerima?"

"Apa?"

"Adam." Aku menghembuskan napas, kenapa tante gigih banget. "Cuma sekali ini aja, dan tante janji gak bakal jodoh-jodohin kamu lagi sama siapapun." Masalahnya kenapa harus dia, aku mengerang dalam hati. "Tante janji Bi. Apa kamu enggak liat kalo tante Belinda sangat amat berharap sama kamu? Bikin orangtua senengkan pahala Bi, tante minta cuma sekali aja kok." Aku menggeleng, tetap tidak mau. Ya Tuhan haruskah ku ceritakan bagaimana keponakannya ini di bikin malu oleh lelaki yang akan di jodohkannya dulu ketika masih sekolah?

"Habis itu janji tante berhenti jadi mak comblang? Dan janji enggak akan maksa apapu  keputusan akhir yang aku buat nanti?" Aku langsung menatap tabte Mey, kedua alisku terangkat tinggi.

"Bener?" Tante mengangguk.

"Beneran, tante udah capek kenalin anak temen-temen tante sama kamu tapi enggak ada yang yangkut."

"Tante udah tau itu kenapa masih juga enggak nyerah aja?"

"Tante kan bilang ini yang terakhir Bi, kalo gagal lagi tante beneran angkat tangan." Ujarnya seraya mengangkat kedua bahunya. Aku menatap tante Mey dan menimbang tawarannya.

Tante akan berhenti jodoh-jodohin aku, tapi syaratnya ituloh yang berat. Isshh!!

"Oke." Putusku. Hanya sekali, habis itu kamu enggak akan bertemu dengan lelaki itu lagi Bi. Iya, untuk yang terakhir kalinya kamu akan bebas juga dari jodoh-jodohan tantemu. Yakinku.

***

Bersambung.

Kau Adalah... (Sudah Tersedia Di Googleplay)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang