start all over again

212 21 0
                                    

"Wah, aku kira uang kalian sebanyak itu." Bianca melirik si kembar yang sedang menghindari tatapan mautnya. "Kupikir, kalian benar-benar akan membawaku ke Maldives." ia tertawa diakhir kalimat.

"Kami akan membawamu kesana, tapi tidak sekarang. Kita harus menunggu kondisinya aman." kata Gerald.

"Aman apanya? Memangnya kita sedang berperang? Bodoh." cecar Albert sambil menurunkan koper-koper mereka dari mobil.

Ya, mereka bertiga baru saja melewati perjalanan panjang dari New York ke sebuah desa selama kurang lebih 8 jam menggunakan mobil. Suasana disekitar mereka begitu sunyi tentram, angin kecil bertiup menambah kesan sejuk.

"Apa nama desa ini?" Bianca kembali bicara. "Kukira ini desa, tapi rumah yang berada disini cukup besar. Bagi ukuran sebuah desa, kau tahu. Bahkan rumahku tidak sampai setengah dari besar rumah ini."

"Kau mengoceh terus. Apa kau sudah bahagia sekarang?" tanya Albert sinis. Tidak biasanya ia melihat Bianca secerewet ini.

"Tentu saja." Bianca menjulurkan lidahnya ke arah Albert yang kemudian menggelengkan kepalanya.

"Kami menabung diam-diam dan membeli rumah ini tahun lalu. Keren kan?" Gerald membentangkan tangannya, memamerkan rumah bergaya victoria itu kepada Bianca.

Bianca berjengit begitu ia mendengar kata 'membeli'. Rumah ini kelihatannya antik, dan ini sebuah desa. Ditambah lagi suasana sekitar sepertinya mendukung persepsi Putri sulung keluarga Tennison itu.

"Hey." Bianca berbisik, membuat Gerald dan Albert mendekatkan kepala mereka. Sekarang mereka terlihat seperti sedang mengadakan rapat besar tentang bencana yang dapat menghancurkan seluruh dunia.

"Apa rumah ini berhantu?"

Albert langsung kembali pada kegiatannya, yaitu memindahkan barang bawaan mereka ke dalam rumah sedangkan Gerald masih terpaku ditempatnya, bibirnya menganga tidak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

Tawa kecil keluar dari bibir Gerald yang menganga. "Ya. Dan hantu itu sedang melihatmu sekarang."

Bianca mundur 5 langkah.

Ekspresi Gerald langsung berubah, ia seperti merasakan kepuasan tersendiri melihat wajah takut Bianca. "Tenanglah. Aku tidak menghabiskan uangku untuk menyuap orang-orang suruhan nenek yang kita temui tadi dan membawamu kemari hanya untuk membiarkanmu mati ditangan hantu."

"Argh!" Bianca berteriak tatkala sentilan Gerald mendarat mulus didahinya.

"HEY KALIAN! BANTU AKU!" teriak Albert dari teras rumah. Ia sudah memakai sarung tangan bahkan celemek dan masker full-face.

Gerald dan Bianca saling bertukar pandang dan tertawa. "Ayo, kita mulai hari-hari bahagia kita disini!" teriak Gerald.

Bianca tertawa lepas, untuk pertama kalinya bersama dengan dua orang yang ia cintai. Ia tahu, bagi sebagian orang kisah mereka pasti bagaikan cerita fiksi remaja yang sudah banyak digunakan oleh penulis-penulis dalam menciptakan novel mereka. Dan sebagian lagi menganggap bahwa bertunangan dengan dua orang secara langsung, apalagi mereka sedarah adalah hal yang bodoh. Bianca juga pernah berpikir begitu, sebelum akhirnya ia melihat bahwa kebodohan itulah yang membuat hari-harinya bermakna.

Bersama orang-orang yang menerima dirinya apa adanya, dengan segala kekurangan dan sedikit kelebihannya.

Bianca bahagia bersama mereka. Biarkan ini menjadi awal yang baru untuk kehidupan Bianca, Gerald dan Albert. Walaupun, Bianca tahu, Megan dan Shanon tidak akan tinggal diam. Mereka memiliki nenek Sophia disamping mereka. Dengan kekuatan dan koneksi yang dimiliki nenek itu, mungkin keberadaan mereka sekarang akan segera diketahui.

Tapi sekali lagi, Bianca tidak ingin memikirkan masa lalu, ataupun masa yang akan datang.

Ia hanya akan menikmati masa ini, dimana ia tidak merasa terbebani oleh apapun dan ia bersama dengan mereka.

"HEY! B!" Gerald berteriak sambil meluncur di pegangan tangga yang licin. Awalnya Bianca hanya diam, sampai saat Gerald melompat dan tidak bisa mengendalikan keseimbangan tubuhnya sendiri.

Ya, Gerald terjatuh. Dengan posisi menungging. Bianca tertawa lagi, sungguh apa Gerald seceroboh ini? Rasanya semakin bertambah umurnya semakin bertambah juga kecerobohannya.

Gerald meringis. Saat ia menengadah, Bianca sudah berjongkok didepannya, meraih rahangnya dan memutar-mutar kepala Gerald panik. "Apa ini sakit?"

Gerald mengangguk, ia meraih tangan Bianca dan menggenggamnya erat dengan ekspresi terluka.

"Bagian mana yang sakit?"

Dengan perlahan ia menunjuk bibirnya. Bianca semakin kalap, ia meraba seluruh permukaan bibir Gerald mencari luka yang sekiranya terlihat di matanya. Tapi tidak ada.

"Hey." desis Bianca.

"Kau berbohong ya."

Plak.

Bibir Gerald ditampar cukup keras, membuat pria itu berteriak kaget karena pukulan tiba-tiba Bianca. "Ini sakit!"

"Kau benar." ujar Bianca tidak peduli kemudian melanjutkan langkahnya berkeliling rumah ini.

Albert bilang setiap 2 hari sekali akan ada 4 orang bibi yang datang membersihkan rumah, jadi keadaan rumah ini sudah siap huni ketika mereka datang.

Ponsel Bianca berbunyi.

Wajahnya memucat. Nenek sophia meneleponnya. Tangannya gemetar. Bingung apakah ia akan menggeser tombol merah atau hijau.

Ditengah kegelisahannya itu, Albert datang dan langsung merebut ponsel Bianca. Membawanya ke halaman belakang.

"Al, apa yang akan kau lakukan?"

"Membuang benda ini." Albert melempar ponsel Bianca tepat ke tengah kolam renang. Bianca semakin memucat.

Albert berbalik. "Satu detik kau mengangkat teleponnya dia akan tahu dimana kau berada dan mengakses seluruh data pribadimu. Kita akan tertangkap."

"LALU KENAPA KAU MEMBUANG PONSELKU? AKU TIDAK MENGANGKAT TELEPONNYA KAN!"

"Untuk berjaga-jaga. Aku dan Gerald juga membuang ponsel kami."

Melihat wajah murung tunangannya, Albert maju memberikan sebuah pelukan hangat. "Kami tahu kau pasti ingin menghubungi keluargamu. Kau bisa menggunakan telepon rumah kan? Kami sudah memastikan segalanya aman disini untukmu."

"Sekarang kau jadi banyak bicara ya." Bianca mendongak. "Kau jadi lebih manusiawi Albert. Aku senang."

Wajah Albert memerah seketika. "Cintaku padamu membuatku keluar dari zona nyamanku dan berlari masuk kedalam duniamu yang penuh warna, bising dan berantakan."

"Aku tahu." tawa Bianca.

"Aku senang bisa berada disini bersama kalian, kuharap aku bisa sedikit memutar waktu pada saat pertama kali kita bertemu." lanjutnya.

Albert mengerutkan dahinya. "Apa yang ingin kau ubah?"

Bianca melepas pelukannya dan duduk dipinggir kolam renang. "Banyak, aku tidak akan menyia-nyiakan beasiswa gratis yang datang padaku begitu saja." ia menarik napas. "Tinggal bersama nenek Sophia membuatku menyadari banyak hal, dia sangat mencintai kalian."

"Ya, dan kami mencintaimu." sahut Gerald yang baru saja datang dengan 3 cangkir coklat panas dan kue kering di tangannya.

"Aku benci itu tapi Gerald benar, B." ucap Albert.

Bianca tersenyum. Entah berapa lama kenyamanan ini akan berlangsung, tapi ia harap.. Selamanya.

Moment Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang