Wulan menghempaskan tubuh begitu sampai di kursinya. Masih pagi, tapi suasana hatinya sudah buruk. Pasalnya dia kehilangan bed namanya. Padahal dia selalu menyimpan bed nama itu di dalam satu-satunya tas hitam yang dipakainya saat bekerja. Tapi ntah bagaimana menghilang.
Wanita itu mendengus untuk kesekian kalinya. Satu-satunya yang membuatnya kesal, bed nama itu memiliki ID scanner yang berfungsi untuk mengisi absen. Dan sekarang bed itu hilang. Berarti hari ini dia terhitung absen dan gajinya akan terpotong hingga pembuatan bed ID barunya yang memakan waktu tiga hari. Pemotongannya memang tidak sampai membuatnya harus makan mi instan berhari-hari. Hanya saja alasan penyebab gajinya terpotong, membuatnya merasa sangat ceroboh. Wulan tidak suka itu.
"Kenapa Lan?" tanya mbak Lika menyadari ekspresi lesunya saat menyerahkan dokumen yang akan ditandatangani.
"Nggak apa-apa mbak." Jawabnya malas menjelaskan.
"Kalau ngantuk minta kopi sama OB sana. Soalnya kamu kalau kamu ngantuk bahaya. Kerjaan nggak ada yang beres." Wulan cuma meringis pelan, tidak menyangkal ucapan mbak Lika.
Saat itu notifikasi email di hapenya berdering. Tahu dari sekertaris pengusaha kopi yang kemungkinan besar hanya berisi penolakan, dia lantas membukanya dengan enggan.
"Kami ingin melakukan pertemuan hari ini."
Wulan mengerjap beberapa kali memastikan tidak salah baca. Begitu yakin penglihatannya benar, senyumnya langsung mengembang.
"Mbak lunch nanti kita minum kopi ya?" ujarnya dengan nada riang membuat kedua alis mbak Lika bertaut.
"Kamu segitu ngantuknya?"
Wulan tertawa sambil menggeleng. "Nggak mbak. Kita di-accept sama calon klient."
Kedua alis mbak Lika yang tadinya bertaut langsung terangkat begitu paham siapa klient yang dimaksudnya. "Mereka akhirnya mau accept kita? Bagus, akhirnya pengusaha kopi itu melihat kegigihan kita untuk bekerjasama." Lanjut mbak Lika tersenyum puas.
Wulan cuma nyengir teringat semalam, memangnya siapa yang nyaris putus asa sampai mau batalin kerjasama?
*
"Pak, pihak dari hotel Emerald sudah tiba." Ucap seorang karyawan wanita yang mengantarkan Wulan dan bosnya ke ruangan calon klient mereka.
"Persilahkan masuk." Perintah seorang dari dalam ruangan.
Wulan mengernyit serasa familiar dengan suara berat itu. Karyawan wanita yang dia tahu bernama Rika dari nametag-nya bergeser dan memberikan jalan untuk mereka. Benar saja, begitu masuk dia melihat calon klient mereka adalah orang yang dikenalnya.
"Selamat siang, ibu Alika." Pria berkemeja putih itu mengulurkan tangan pada mbak Lika.
"Selamat siang pak." mbak Lika membalas jabatan tangan pria itu.
"Dan... Ibu Wulan?" Lanjutnya beralih pada Wulan.
"Selamat siang pak—Rama?" Katanya masih tertegun. Pria itu kemudian mempersilahkan mereka duduk.
Wulan memperhatikan pria yang duduk di depannya tengah membicarakan perihal bisnis dengan pikiran penuh tanya. Hanya mbak Lika yang menanggapi omongan klient mereka. Makanya saat dua orang yang tadinya sibuk mengobrol itu tiba-tiba menoleh, Wulan kebingungan.
"Wulan?" panggil mbak Lika.
"Y-ya bu?" sahutnya dengan tatapan bertanya.
"Kamu sudah mencatat tema coffee shop yang pak Rama inginkan, bukan?" mbak Lika mengerling sambil mengisyaratkan pertanyaan, "Be focus! Ini klient penting."
KAMU SEDANG MEMBACA
Affair
ChickLitMencintainya adalah kesalahan. Itu adalah satu-satunya fakta yang Wulan sadari. Meski terlalu banyak alasan untuk tidak memiliki perasaan itu, meski tahu hanya ada penyesalan ketika rasa semu itu berakhir. Tapi Wulan tidak bisa menghindarinya, kar...