DELAPAN

265 16 6
                                    

Yehee... selesai juga next partnya. Tnkyu verymuch for my another spirit. Keep spirit me up yaa oreoscream
Still nee your comment ya ders...
Who's waiting for it? Lets check this out! ^^

Rama memperhatikan sekeliling UGD yang dipenuhi beberapa suster dan dokter hilir-mudik mengurus pasien yang baru tiba. Bosan, pria itu lantas beralih ke depan. Tatapannya berhenti pada sosok wanita yang bersandar pada kepala ranjang dengan mata setengah tertutup. Sudut bibirnya terangkat melihat Wulan berusaha menahan kantuk dengan alis berkedut. Mulutnya sudah gatal ingin menyuruh wanita itu berbaring saja. Tapi dia yakin Wulan pasti menolak karena tidak nyaman.
Rama lantas beralih pada jam di tangannya. Sudah hampir setengah jam lebih sejak Wulan menelepon, tapi teman-temannya belum juga datang. Pria itu menghela nafas lalu kembali memperhatikan Wulan. Sudut bibirnya kembali terangkat. Wanita itu akhirnya tertidur meski dengan posisi tidak nyaman. Tapi ekspresinya cukup pulas dan—menggemaskan.
Hanya sepersekian detik, Wulan spontan membuka mata setelah diserbu beberapa teriakan.
“Wulaaan ya ampun, lo nggak apa-apa kan?”
“Nggak parah kan Lan?”
“Loh, kamu kok di sini mas?”
Rama menatap tajam wanita itu. Dia tahu Wulan ingin segera mengusirnya pergi. Tapi tidak menyangka wanita itu harus menggunakan isterinya untuk membuatnya pergi secepatnya. Apa wanita itu mengira dia akan macam-macam, sampai harus menghubungi isterinya begitu?
“Mas?” panggil Novi menyadarkannya.
Rama mengehela nafas menyadari tidak hanya Novi, tapi semua orang menatap menunggu jawabannya. “Aku hanya mengantar Wulan yang kecelakaan di lokasi kerjaku.” Jawab Rama kemudian.
“Lo...kasi kerja Rama?” tanya Febi beralih menatap Wulan.
Wanita itu gantian menatap Rama tajam. Rama memang sengaja melempar tanggung jawab untuk menjelaskan. Karena wanita itu yang mengundang mereka bukan?
“Karena Arabika Global membuka gerai baru di hotel Emerald. Pak Rama di lokasi waktu gue kecelakaan. Jadi... dia yang mengantar.” Jawab Wulan yang dibalas anggukan paham Febi dan Sesil.
“Jadi kalian bekerjasama? Kenapa tidak bilang sejak awal.” Ujar Novi lalu beralih menatap Rama. “Cabang baru yang hari lauch-nya besok kan? Kalau tahu kamu kerjasama sama hotel di tempat Wulan, aku kan bisa mengundur jadwal sama temen-temen sosialitaku mas?” Rama hanya menatap isterinya sambil mendengus pelan. Sama sekali tidak berniat menjawab.
Wulan yang menyadari sikap pria itu langsung berubah drastis di depan isterinya, lantas mengerutkan alis.
“Tahu nih. Kita kan juga kepingin dateng. Mana tahu bisa ngumpul lagi kan?” sambung Sesil mengalihkan perhatian Wulan.
“Iya. Kenapa nggak bilang-bilang coba?” sahut Febi ikut bertanya.
Wulan meringis pelan sebelum menjawab. “Gue juga bingung, karena pihak Arabika Global baru menerima tawaran kerjasama setelah pihak hotel menunggu cukup lama.” Lalu menatap Rama. “Kita bahkan sudah hampir membatalkan tawaran. Tapi tidak tahu kenapa mereka tiba-tiba menerimanya.” Ya, sebenarnya ini juga pertanyaan yang ingin dia tanyakan.
Rama menatapnya sekilas. “Karena saya sudah punya projek lain sebelum mendapat tawaran hotel Emerald. Tapi setelah saya melihat hotel tempat kamu bekerja memiliki potensi, saya menerimanya.” Jawab Rama datar. Lalu mengalihkan tatapan dengan malas.
Wulan manatap pria itu dengan kerutan alis. Masih bingung melihat sikap Rama berbeda sekali saat sebelum teman-temannya datang.
“Ah... proyek yang kamu bicarakan itu ya?” sahut Novi. Rama bahkan tidak menatap isterinya sama sekali. Pria itu hanya mengangguk dengan ekspresi flat-nya. Wulan serasa baru melihat Rama suami temannya yang dia kenal kali ini.

*

Rama memperhatikan seisi ruangan mencari keberadaan Wulan. Dia memang sudah sejak tadi memperhatikan wanita itu. Tapi kehilangan jejaknya setelah menyambut beberapa tamu penting yang menghadiri acara lauch coffeshop barunya.
“Kapan jadwal wawancara selanjutnya?” tanya Rama pada Rika.
“Sepuluh menit lagi bapak akan wawancara dengan blogger ternama.”
“Sintya?” sekertarisnya mengangguk.
Rama lalu segera bergegas ke salah satu meja di salah satu sudut ruangan yang sudah di duduki Sintya. Keduanya saling menyapa sesaat sebelum memulai wawancara.
“Oke, kalau begitu pertanyaan terakhir.” Ucap Sintya.
“Kenapa kamu memilih menerima tawaran kerjasama dengan pihak hotel Emerald yang...” wanita itu mengalihkan pandangan ke sekeliling ruangan. “Bisa di bilang belum berada di kelas atas. Dan bukankah kalian sudah punya projek lain yang jauh lebih besar?”
Pria itu mengalihkan pandangan sambil berpikir sejenak. Mencoba mengingat apa alasannya menerima tawaran hotel emerald. Saat itu tatapannya tertuju pada seorang wanita dengan stelan resmi kantornya yang sedang berbicara dengan salah satu tamu. Ekspresi dan senyumnya jelas terlihat hanya sebatas sikap formal. Tapi dari tatapannya yang dalam, Rama seolah bisa melihat sesuatu yang tersembunyi. Cukup membuatnya penasaran hingga tanpa sadar tidak bisa mengalihkan pandangan.
Wanita yang Rama pandangi itu kemudian mengakhiri pembicaraan pada salah seorang tamu. Lalu beranjak ke salah satu kursi dan duduk sambil memasang tampang ke sakitan. Sebelah tangannya mengusap pelan betis kirinya.  Saat itu dia baru tersadar. Lantas segera kembali menatap Sintya.
“Alasan saya memilih projek ini, karena saya akhirnya melihat potensi pada hotel Emerald yang kemungkinan akan mensukseskan cabang saya yang lain. Lagi pula, bekerjasama dengan hotel berbintang tidak cukup kalau ingin memperluas bisnis. Merk dagang juga harus memasuki pasar kelas bawah.” Jawabnya cepat.
“Ah... begitu rupanya.” Sintya mengangguk sembari mencatat dalam notenya.
Setelah mengakhiri wawancara, Rama segera pamit beranjak terlebih dahulu. Pria itu mendadak menghentikan langkah saat tidak melihat Wulan di salah satu kursi yang tadi diduduki wanita itu. Kepalanya kembali berputar memperhatikan seisi ruangan. Tapi dia tidak juga menemukan wanita itu. Rama lantas segera menghampiri sekertarisnya yang sejak tadi berdiri tidak jauh darinya.
“Saya mau ke mall di depan sebentar.” Katanya.
“Ada sesuatu yang bapak perlukan? Biar saya yang—”
“Tidak-tidak. Biar saya saja. Kamu handle acara sebentar. Hubungi saya kalau ada keadaan darurat.”
“Baik pak.”

AffairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang