TUJUH

244 14 5
                                    

TUJUH

"Mbak ini laporan hasil rapat kemarin." Wulan menyerahkan sebuah dokumen pada mbak Lika. Bosnya itu menatap sekilas dan segera mengalihkan pandangan. Wulan menghela nafas pelan. Tidak nyaman karena mbak Lika masih merasa canggung dengannya padahal dia sudah memutuskan untuk melupakan ucapan kasar bosnya semalam dan bersikap biasa saja. Kalau merasa bersalah harusnya mbak Lika meminta maaf saja, dari pada terus bersikap canggung seperti itu.

"Ini." Mbak Lika menyerahkan dokumen laporan pada Wulan setelah menandatanganinya.

"Sudah lewat, tapi mbak belum makan siang. Mau aku pesankan tempat dimana?"

Mbak Lika menggeleng pelan. "Kita makan di salah satu restauran yang ada di lobi saja ya?"

Wulan menggangguk saja. "Oke mbak."

"Tunggu Lan," panggil mbak Lika saat Wulan mau berbalik. Bosnya itu mengerluarkan paper bag berukuran besar dari bawah meja dan menyerahkan padanya. "Ini untuk kamu. Hmm, semalam mbak belanja. Terus ingat kamu. Ya sudah sekalian mbak beli saja. Dipakai ya?"

Wulan menatap bosnya beberapa saat dan kembali menghela nafas. Selalu saja begini, setiap kali mbak Lika merasa bersalah dengannya, wanita itu memberikan barang-barang mewah. Seperti saat ini. Padahal yang Wulan perlu hanya permintaan maaf wanita itu.

"Terimakasih mbak." Mau tidak mau dia tetap harus menerimanya.

"Dan soal semalam, maaf sudah bicara kasar sama kamu." Kedua alis Wulan terangkat Ini pertama kalinya mbak Lika meminta maaf. "Karena terbawa emosi—mbak jadi berbicara begitu."

"Nggak apa-apa mbak. Tapi lain kali nggak perlu ngasih barang ya, permintaan maaf mbak saja sudah cukup." Dia segera menambahkan, "Lebih baik lagi kalau lain kali nggak dibuat lagi, sih."

Sudut bibir mbak Lika terangkat. "Oke."

"Ya udah. Kalau begitu aku taruh ini dulu." Lalu beranjak dari ruangan mbak Lika sambil menenteng paper bag yang berisi stelan kantor dengan merk berkelas.


"Ada pertemuan lagi yang harus mbak hadiri?" tanya mbak Lika saat mereka makan siang.

Wulan menggeleng. "Kita hanya perlu menyelesaikan beberapa dokumen lagi dan memeriksa kemajuan Arabika Global sebelum hari launch-nya."

Mbak Lika menghentikan suapan Elbow macaroni-nya. "Kapan hari launch-nya?"

"Besok mbak."

"Oke. Kalau begitu habis makan kita langsung ke sana." Lalu lanjut menyuap pastanya dengan sedikit tergesa.

Kedua alis Wulan bertaut. Setelah mereka hanya menghadiri beberapa pertemuan bisnis sejak pagi dan menyelesaikan banyak dokumen hingga terlambat makan siang, sekarang bosnya mau langsung lanjut ke pekerjaan lainnya. Wulan merasa sedikit aneh karena mbak Lika sepertinya ingin cepat-cepat menyelesaikan pekerjaan.

Lantas bertanya, "Mbak baik-baik saja kan?" Mbak Lika menghentikan suapan sekilas sebelum mengangguk dan kembali melanjutkan makannya.

Wulan tidak bertanya lebih lanjut karena mbak Lika tidak berniat menjelaskan meski matanya cukup menyiratkan wanita itu tidak baik-baik saja. Lantas melanjutkan makannya juga. Tapi mbak Lika tiba-tiba menghela nafas keras dan meletakkan sendok dan garpunya dengan ekspresi siap menangis.

Wulan ikut menghela nafas dan meletakkan sendok dan garpunya juga sambil menatap mbak Lika, siap mendengar curahan hati bosnya.

"Masalah mas Arya... benar-benar membuatku frustasi. Pria itu—pria itu memang tidak memiliki perasaan sama sekali dengan ku." Mbak Lika menutupi wajah dengan kedua tangan dan menangis sampai sesenggukan.

AffairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang