Empat Belas

152 10 0
                                    

Jangan lupa komennya ya girlss...

"Ayo,"

Rama berusaha membuat langkah balita di sampingnya bertambah cepat. Pria itu harus buru-buru kembali ke cafe. Mengingat karyawannya mengatakan Wulan sudah tiba sejak tadi. Tidak sabar dia lantas menggendong Tino dan melanjutkan langkah setengah berlari.

"Sudah selesai mas?" supirnya langsung berdiri begitu Rama sampai dan menghampiri meja tempatnya menunggu.

Pria itu mengangguk sambil memperhatikan sekeliling. Saat itu dia melihat Wulan sudah duduk membelakanginya di salah satu meja dekat bar. "Kamu bisa antar Tino pulang sekarang, saya harus kembali bekerja." ujarnya sambil menurunkan Tino.

"Baik mas. Kalau begitu saya permisi dulu," pamit Bono menggandeng Tino dan berjalan keluar cafe sambil membawakan mainan anak itu. Rama lantas ikut beranjak. Tapi baru saja berbalik, Tino tiba-tiba berteriak.

"PAPPAAAAA...!!" anak itu langsung melompat kearahnya. "Teyimakasyiiih....!"

Rama menghembuskan nafas masih dengan mulut terbuka. Setengah lega bercampur ngeri. Untung saja dia reflek menangkap anak itu. Kalau sampai mereka terjatuh dan lebih parah menabrak salah satu ujung meja—Rama yakin mama mertuanya akan langsung membunuhnya begitu tahu cucu kesayangannya terluka di tempat dia bekerja

"O...ke. Sekarang papa mau bekerja dulu." ujarnya menurunkan Tino.

"Dah papa..." Tino kembali berlari meraih tangan Bono setelah melambaikan padanya.

Rama hanya menyeringai melihat supirnya tersenyum meminta maaf sebelum melanjutkan langkah ke luar cafe. Kali ini pria itu tidak langsung beranjak. Memastikan keduanya benar-benar pergi, baru berbalik.

Saat itu dia baru menyadari beberapa pelanggan tengah memandanginya. Oh, dia pasti jadi pusat perhatian gara-gara Tino. Dan sepertinya tidak hanya pelanggan, tapi juga Wulan. Sorot mata wanita itu tidak lepas hingga dia sampai di depannya.

"Hey. Maaf membuat kamu menunggu. Saya—"

"Tadi itu Tino?" tanya Wulan memotong. Rama mengangguk.

"Di mana ibunya?"

"Tidak ada."

Wulan mengernyit bingung."Lalu kenapa dia ada di tempat kerja kamu?"

Rama memandangi wanita itu sambil merapatkan bibir beberapa saat sebelum menghela nafas. "Tino memang tidak datang dengan ibunya, dan karena kamu bertanya—sebenarnya saya sudah berjanji mau membelikan mainan, tapi tidak punya waktu. Jadi saya terpaksa menepatinya di jam kerja." Pria itu menggeleng. "Saya bahkan hampir melupakan pertemuan ini."

Rama pikir wanita itu akan memberikan komentar sinis yang berkaitan dengan 'ketidakprofesionalan-nya', tapi tidak. Wulan justru memandanginya seperti ketampanannya bertambah sepuluh kali lipat.

"Kenapa?" tanyanya menarik kursi dan duduk di depan Wulan.

"Saya baru tahu, meskipun suami yang dingin ternyata kamu ayah yang hangat." Lalu beralih membuka dokumen di hadapannya.

Sudut bibir Rama terangkat. "Apa itu pujian?"

"Kecuali suami yang dingin?" wanita itu mengangguk tanpa menoleh.

Rama tertawa skeptis. "Ah, asal kamu tahu. Selain sebagai ayah, saya juga bisa menjadi kekasih yang hangat." Pria itu mengerling. Sengaja mengingatkan Wulan pada pertemuan mereka sebelumnya.

"Kamu sudah memikirkan tawaran saya?" tanyanya lagi. Persis seperti dugannya, wanita itu hanya mendengus tanpa berniat menanggapi.

"Ah, sepertinya kamu masih memikirkannya ya?" lalu mengangguk sendiri. "Kalau begitu saya akan tetap menunggu sampai kamu memberikan jawaban."

AffairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang