Wulan mengusap keringat dingin di leher sambil menatap pantulannya di cermin toilet. Meskipun dia sudah tidak menggunakan sepatu hak tinggi lagi, tapi kakinya masih terasa sakit karena terus berdiri sejak tadi.
"Saya hanya khawatir kalau terus saja menolong kamu, sesuatu mungkin akan terjadi di antara kita."
Ucapan Rama mendadak terputar di benaknya. Wulan terdiam sejenak sembari memikirkan apa maksud ucapan pria itu. Lalu menggeleng. Tidak, meskipun Wulan menganggap pria itu tidak cukup normal, tapi dia tidak berpikir Rama cukup gila untuk 'bermain' dengan teman isterinya. Lagi pula Wulan tidak punya waktu untuk menjalani sebuah hubungan. Dan melakukan affair dengan teman suaminya, sama sekali tidak ada dalam target hidupnya.
Wanita itu mengeluarkan bedak dan lipstick dari dalam saku blazernya dan kembali mempoles wajah. Meskipun dia belum lama melakukannya, tapi mbak Lika baru saja menegur makeup-nya. Bosnya itu memang paling peduli soal penampilan. Itu sebabnya dia memaksakan diri memakai stiletto meskipun harus menahan sakit.
Setelah merasa cukup, Wulan segera beranjak ke luar toilet. Saat itu dia melihat Rama sedang berjalan kearahnya. Kedua alisnya bertaut melihat pria itu berjalan melewati pintu toilet pria yang berjarak beberapa langkah dari toilet wanita.
"Sedang apa kamu di—"
"Apa maksudnya ini?" tanya Rama memotong ucapannya sambil mengacungkan sticky note yang berisi pesannya.
"Ah, saya sudah mengatur pertemuan untuk kamu dan ibu Sintya."
"Kenapa kamu melakukannya?"
Wulan mengerutkan alis. Heran karena Rama terlihat tidak suka padahal dia sedang membantunya.
"Bukankah itu yang kamu inginkan?"
"Apa?"
"Memiliki waktu lebih bersama mantan yang masih kamu cintai? Saya hanya sedikit membantu kamu."
Rama menatap tajam dengan rahang terkatup. "Saya tidak tahu apa yang membuat kamu berpikir untuk melakukannya, padahal saya tidak pernah meminta."
Wulan spontan mengerjap. Sedikit terhenyak. Sama sekali tidak memikirkan kemungkinan pria itu menolak bantuannya.
"Bukankah kamu yang mengatakan dengan jelas untuk mengurus urusan pribadi masing-masing? Tapi kenapa kamu terus ikut campur urusan pribadi saya?"
"Ikut campur?"
"Tidak? Kalau begitu jangan membuat saya salah paham dengan melakukan sesuatu seperti ini." Rama kambali mengacungkan memo berisi pesannya sebelum berbalik mau beranjak. Tapi Wulan tidak terima, lantas menahan lengannya.
"Tunggu, saya tidak melakukan itu untuk membuat kamu salah paham." Katanya tidak peduli meski tatapan Rama kian menajam. "Saya hanya tidak ingin terhutang budi karena kamu sudah membantu saya beberapa kali. Meskipun saya tahu... kamu membantu saya dengan maksud lain."
Kedua alis Rama langsung bertaut. "Maksud lain?"
Wulan melepaskan pegangannya sebelum melipat tangan. "Saya tahu kamu selalu membantu saya dan bersikap baik agar saya tetap tutup mulut. Itu sebabnya saya tidak ingin menerima bantuan kamu dengan cuma-cu—"
"Tunggu," potong Rama kesekian kalinya. "Apa selama ini kamu berpikir—saya membantu untuk mebuat kamu merahasiakan perselingkuhan saya?"
"Kalau bukan lalu apa? Karena kamu memang tulus bersikap baik?" Wulan tertawa hambar. "Jangan bercanda Ram. Mana mungkin kamu terus bersikap baik padahal saya selalu bersikap sinis?"
Pria itu memandangnya beberapa saat sebelum membuang nafas ke samping. Satu sudut bibirnya terangkat. Wulan jelas tahu itu bukan senyuman. Tapi yang paling menganggu adalah sesuatu yang tersirat di matanya. Dia tidak terlalu yakin, tapi Wulan sempat melihat sorot kekecewaan di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Affair
ChickLitMencintainya adalah kesalahan. Itu adalah satu-satunya fakta yang Wulan sadari. Meski terlalu banyak alasan untuk tidak memiliki perasaan itu, meski tahu hanya ada penyesalan ketika rasa semu itu berakhir. Tapi Wulan tidak bisa menghindarinya, kar...