Lima Belas

151 14 5
                                    

Masih ditunggu komennya ya....

"Kamu masih tidak melihat wanita itu?" tanya Rama mulai emosi.

Sekertarisnya memasang raut berasalah sebelum menggeleng. "Belum pak."

"Bukannya pertemuan untuk membahas peluncuran menu baru setengah jam lagi? Dia seharusnya hadir kan?"

Sekertarisnya menghela nafas dan kembali menggeleng. "Maaf pak, tapi sepertinya pertemuannya di wakilkan oleh menejer marketing."

"Apa?"

"Beliau sudah memberitahu saya lewat email."

Rama memejam keki sebelum mendengus. Setelah hampir seminggu tidak bisa menemui Wulan untuk menagih penjelasannya, sekarang wanita itu mengirim orang lain dalam pertemuan mereka. Karyawannya bahkan mengatakan Wulan tidak pernah lagi memesan kopi di tempatnya seperti biasa. Ah, jadi wanita itu sengaja menghindarinya ya?

"Baik kalau begitu." Pria itu langsung berbalik meninggalkan sekertarisnya tanpa mengatakan apa pun lagi.

*

"Nomor yang anda tuju, sedang tidak aktif. Cobalah beberapa saat lagi—"

Wulan menurunkan hape dari telinga. Sudah seminggu lebih mbak Lika tidak masuk kantor. Sepertinya masalah rumah tangganya belum selesai. Tadinya dia menelepon berharap bosnya bisa menemaninya untuk pertemuan ini. Dia benar-benar enggan datang sendiri ke pertemuan rutin setiap tiga bulan sekali yang dilakukan oleh sekelompok wanita sosialita paruh baya, para isteri investor hotel Emerald. Dari pada membicarakan pekerjaan, pertemuan ini lebih mirip ajang pamer perhiasan dan gosip massal.

Wulan beralih pada papan panel yang menunjukkan lantai 12. Wanita itu menarik nafas dalam-dalam begitu pintu lift terbuka. Setelah keluar, hapenya berdering. Ada panggilan dari salah satu perwakilan isteri investor.

"Batal?" ulangnya memastikan. Senyumnya langsung mengembang. "Baik bu...ya...tidak masalah...baik...selamat sore."

Senyumnya kian lebar setelah menutup panggilan. Mengingat dia bisa langsung pulang dan melanjutkan pekerjaan di rumah. Lantas kembali berbalik, menekan tombol lift dan memeriksa jam sambil menunggu pintunya terbuka. Saat itu samar-samar dia mendengar seseorang berbicara.

"Lantai dua belas? Lebih tepat—ah, saya sudah tahu."

Wulan menoleh ke belakang tepat saat pintu lift terbuka dan bayangan hitam langsung menutupi pandangannya.

"Ayo masuk." Orang itu nyaris mendorongnya memasuki lift.

"Rama?" ucapnya mengenali suaranya.

Pria itu berbalik tepat saat pintu lift tertutup. "Ya."

Wulan menelan ludah menyadari tatapan mengancam pria itu. Setelah hampir seminggu menghindar, Wulan pikir berhasil membuat Rama melupakan pertemuan terakhir mereka. tapi sepertinya tidak.

"Senang akhirnya bertemu kamu." ujarnya tanpa senyum.

"Ya. Saya—juga." Wulan mengalihkan pandangan.

"Oh ya?" Pria itu maju beberapa langkah. "Lalu kenapa menghindari saya?" Otomatis membuat Wulan mundur hingga nyaris terjepit antara dinding lift dan tubuh pria itu.

"Saya tidak menghindari kamu." bohongnya berusaha tetap tenang. Meski hanya berdua, pria itu tidak mungkin macam-macam. Ada CCTV di dalam lift.

Satu sudut bibir Rama terangkat. "Kalau begitu tepati janji kamu sekarang."

"Janji?" Wulan masih bertanya meski tahu maksudnya.

Rama menyipitkan mata. "Saya yakin kamu ingat berhutang penjelasan pada saya. Atau... apa perlu saya ingatkan dengan cara lain?" Rama memandangi bibirnya dengan tatapan intens. Sukses membuat Wulan teringat bibir pria itu pernah menempel di miliknya.

AffairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang