Tiga Belas

131 13 0
                                    

HUAAAAHHHHH FINALLYYYYY!! Gausah ngebacot deh ya, cuss langsung di read!

Wulan mengeratkan lipatan tangan menahan hembusan angin malam sembari memperhatikan seorang pria di depannya. Setelah berkendara cukup jauh dengan kecepatan tinggi, Rama akhirnya menghentikan motor di jalan bebas hambatan yang sepi. Tapi sejak tadi, Rama hanya diam berdiri membelakanginya sambil memegang besi pembatas jalan.

Wulan menghela nafas. Sudah hampir setengah jam, dan pria itu masih tidak merubah posisi. Hal itu membuatnya ikut berdiam tanpa tahu harus berbuat apa. Perhatiannya teralihkan saat hapenya bergetar beberapa kali. Ada notifikasi perubahan jadwal bosnya dan beberapa dokumen yang perlu diperiksa dengan deadline besok. Ah, masih banyak yang harus dikerjakannya.

"Kamu mau berdiri di sana terus?" Rama tiba-tiba menoleh. "Kemarilah. Pemandangannya bagus." Ujarnya beralih ke depan tanpa menunggu jawabannya.

Wulan mendengus. Meskipun kesal karena pria itu baru berbicara, tapi tetap menghampirinya. Dia hanya ingin ini secepatnya pulang. Wulan ikut memegang besi pembatas jalan sambil memperhatikan suasana kota dengan gemerlap cahaya lampu dari ketinggian jalan tol. Untungnya tidak mengecewakan.

"Bagaimana? Bagus bukan?" tanya Rama lagi.

"Hm." Gumamnya. Lalu menoleh. "Apa sekarang suasana hati kamu sudah membaik?"

Rama meliriknya sekilas. "Sedikit."

"Kalau begitu, kamu bisa jelaskan bantuan apa yang bisa saya berikan di tempat seperti ini?"

Pria itu berpikir sejenak. lalu mengangkat bahu. "Tidak tahu."

Wulan mengerjap dengan kedua alis bertaut. "Lalu kenapa membawa saya ke sini?"

Rama hanya menghela nafas. tidak langsung menjawab dan kembali memperhatikan pemandangan kota dengan ekspresi muram.

Kenapa dia membawa Wulan ke sini? Dia malah bertanya pada diri sendiri. Tadi pikirannya benar-benar kacau. Rama hanya ingin pergi ke suatu tempat dan ingin—Wulan menemaninya. Bukan orang lain, bukan juga karena kebetulan wanita itu ada bersamanya. Tapi dia memang ingin Wulan yang menemaninya. Satu-satunya orang yang tidak benar-benar 'tahu' tentang rumah tangganya.

"Ram?" panggilan Wulan.

Pria itu kembali menghela nafas. "Karena ini satu-satunya tempat yang bisa membuat pikiran saya membaik... Dan saya tidak ingin sendirian." Rama menatap tepat ke mata Wulan.

Wanita itu balas menatap sebelum mengangguk. "Kalau begitu beri tahu sampai kapan kamu berencana tetap di sini. Saya tidak bisa menemani terlalu lama. Masih banyak yang harus saya kerjakan."

Pria itu tersenyum sambil mendengus. "Kamu memang tidak berniat bersimpati sedikit pun ya?" Wulan mengernyit tidak paham. "Setelah semua yang saya lakukan, saya pikir hubungan kita bisa membaik. Tapi sepertinya tidak. Sikap kamu masih sama."

Hubungan? Wulan menggeleng jengah melihat raut kecewa Rama. "Ya. Dan sekedar mengingatkan, saya di sini hanya untuk memberikan imbalan."

"Ah... imbalan itu."

"Imbalan yang sangat ingin secepatnya saya bayar."

Pria itu hanya beralih kedepan dengan sudut bibir terangkat. Sepertinya tidak berniat melanjutkan percapan. Wulan lantas ikut beralih. Kembali memperhatikan pemandangan di bawah. Diam-diam memikirkan ucapan Rama sebelumnya. Dia memang tidak berniat bersikap lebih ramah meskipun pria itu sudah membantunya beberapa kali. Selain karena bantuannya bukan sesuatu yang—menyenangkan, Rama tipe suami temannya yang cukup 'rawan' untuk menjadi akrab. Jadi ya, dia akan terus menjaga jarak.

AffairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang