SEPULUH

194 12 4
                                    

"Mau sampai kapan mbak?"

Pesan Damar yang berupa empat kata itu cukup membuat air mata yang Wulan tahan sejak pagi mulai berlomba membasahi pipinya. Setelah menghubunginya pagi-pagi hanya untuk mengingatkan bahwa hari ini adalah peringatan kematian ibunya, sekarang adik satu-satunya Wulan itu mengirim foto batu nisan lengkap dengan pertanyaan itu.

Tidak ingin terus menangis, Wulan lantas buru-buru mengusap pipi lalu menyimpan hape di saku blazernya. Wanita itu menarik nafas dalam-dalam berulang kali sambil menengadahkan kepala. Berusaha sebisa mungkin menghentikan tangisnya.

Sejak ibunya meninggal, dia tidak pernah menghadiri peringatan kematiannya. Tidak, Wulan bukannya tidak ingin. Tapi dia tidak sanggup. Ntah bagaimana, setiap kali mengingat ibunya, Wulan selalu merasa seolah benda tajam menusuk-menusuk ulu hatinya. Saat itu hanya penyesalan dan rasa sakit yang dia rasakan. Wulan tidak tahan. Dan sampai saat ini, rasa sakit itu belum mau hilang. Itu sebabnya meskipun Damar tidak pernah lelah membantunya merelakan dan terus membujuknya untuk mengunjungi ibunya, tapi usahanya tidak pernah berhasil.

Wulan kembali menarik nafas dalam-dalam sembari memejamkan mata. Hembusan angin yang cukup kencang membuat pipinya yang basah terasa dingin. Syukurlah dia bisa merasakan hal lain. Meskipun sesaat, tapi berhasil mengalihkan rasa sakitnya. Merasa lebih baik, dia lantas membuka matanya perlahan. Tatapannya langsung tertuju pada pemandangan kerlap-kerlip lampu kota. Posisinya yang berada di atap hotel, menambah keindahan lampu kota di malam hari. Seulas senyum berhasil mengembang di wajahnya. Tapi sayangnya hanya sesaat.

"Wulan?" panggil seseorang.

kedua alisnya bertaut serasa mendengar suara yang tidak asing. Suara yang hampir tidak pernah didengarnya setelah sekian lama. Lantas berbalik. Saat itu hidungnya langsung mencium bau alkohol yang menyengat.

"How... thanks God, its real you! Hai Laan, apa kabar kamu?" pria jangkung dengan tubuh berototnya itu tertawa senang sebelum melangkah maju mendekatinya.

"Ow, shit. Lama tidak bertemu, kamu semakin cantik saja." pria itu mengulurkan tangan mau memeluknya.

"Berhenti Ar," Wulang langsung mengulurkan tangan menahan dada bidang pria itu. "Kamu sedang mabuk. Saya nggak tahan baunya."

Arga mengerutkan alis tidak suka. Lalu menghirup jaket kulitnya. "Nggak sayang, aku nggak sebau itu. Coba sini lebih dekat. Then you will know some good smell."

Arga kembali melangkah lebih dekat. Pria itu menggenggam erat tangan Wulan yang menahan dadanya. "NO! Jangan Ar. Kamu akan menyesali apa yang akan kamu lakukan begitu sadar."

Wulan berusaha melepaskan. Tapi genggaman Arga semakin lama semakin menyakitkan. Menghadapi Arga tidak mungkin dengan kekuatan, jelas pria itu jauh lebih kuat darinya. Wanita itu lantas berhenti melepaskan tangannya sambil memutar otak mencari cara melepaskan diri sementara Arga mendesak semakin mendekat.

"Holy shit! Your Smell even better, hon..." tatapan Arga berubah gelap dan mengintimidasi.

Wulan berusaha menelan ludah melihat gairah di mata pria itu. Jantungnya mulai berdegup kencang memikirkan kemungkinan apa yang akan dilakukan Arga. Lantas berusaha lebih keras mencari cara. Mengingat Arga adalah sepupu mbak Lika sekaligus tamu VIP hotel Emerald, Wulan tidak bisa melakukan kekerasan. Kalau pun bisa, dia tidak punya keberanian sedikit pun. Saat ini dia bahkan hampir tidak bisa merasakan lututnya sendiri.

"Can I touch ya?" bisik Arga membuat ketakutannya semakin menjadi. "Oh, come on... just let me do it. Sedikit saja, hm?" tangan pria itu mulai menyusuri leher dan turun ke kerah bajunya.

Keringat dingin menetes dari pelipisnya. Wulan merasa pandangannya mulai kabur dan tubuhnya bergetar hebat. Amarah yang memuncak karena harga dirinya seperti akan di injak-injak memang sudah memenuhi hatinya. Tapi ketakutan yang menguasai seluruh tubuhnya, membuat Wulan nyaris tidak bisa bergerak. Bahkan hanya untuk menepis tangan pria itu.

Melihat Wulan nyaris tidak bergeming, membuat Arga semakin bergairah menurunkan tangan membuka kancing ketiga bajunya. Pria itu lantas mendekatkan mulut ke telinga Wulan sebelum berbisik. "You are so, beautifull...."

Seolah menyadarkannya, bisikan itu berhasil membuat Wulan kembali merasakan kakinya. "That's why she left you?" tanyanya.

Gerakan tangan Arga mendadak berhenti. Pria itu seperti membeku sesaat sebelum memundurkan kepala menatap Wulan. "Apa?"

Wulan mengerjap beberapa kali untuk membuat pandangannya lebih jelas. Sudut bibirnya terangkat berhasil membuat gairah di mata Arga berubah menjadi kilat emosi. "Kamu hanya mencintai kecantikannya." Wulan mengusap keringat di pelipisnya tanpa mengalihkan tatapan.

"Dia sadar kamu akan meninggalkannya saat menemukan yang lebih cantik, itu sebabnya dia memutuskan meninggalkanmu terlebih dahulu."

"What the hell your talkin' about?!" tanya Arga dengan rahang menyatu.

Senyum Wulan kian melebar. Ntah bagaimana, bisikan Arga berhasil membuat otaknya mengingat bahwa pria itu baru pulang dari luar negri, hanya untuk melupakan wanita yang dicintainya. Ya, mereka memang sempat dekat. Dan Arga tidak sedikit pun menyembunyikan ketertarikannya. Tapi Wulan tidak pernah menganggap lebih dari sekedar saudara atasannya. Perteman mereka juga karena Arga adalah sepupu mbak Lika. Kalau tidak dia tidak akan pernah mau berteman dengan lelaki mata keranjang itu.

"Dua tahun melarikan diri, aku pikir kamu sudah mengetahui alasannya." Wulan merubah tatapan merendahkan. "Tapi sepertinya tidak."

Arga terdiam menatapnya dengan rahang bergerak-gerak. Amarah pasti mulai menguasai pria itu. Dalam hati, Wulan tersenyum puas. Dia memang ingin Arga merasakan apa yang dia rasakan sebelumnya.

Wulan mengalihkan pandangan ke samping sambil membetulkan tali tasnya. "Jadi dari pada mabuk-mabukkan dan melakukan hal bodoh seperti ini, kamu seharusnya lebih banyak berpikir."

Pria itu hanya memandanginya dengan penuh emosi. Sebelum membuang muka kesamping dengan bola mata bergerak cepat.

Wulan menghela nafas. Sepertinya dia bisa pergi sekarang. Lantas segera berbalik tanpa mengatakan apa pun lagi. Wanita itu berjalan sambil mengepalkan tangan berusaha menghentikan gemetarannya. Meskipun dia berhasil melepaskan diri, tapi ketakutannya masih belum sepenuhnya pulih. Sekali lagi, sekali lagi dia harus merasakan ketakutan itu.

Wulan memejamkan mata sambil terus berusaha menggerakkan kakinya yang masih lemas. Wanita itu membuka mata setelah mengusap pipinya yang basah. Langkahnya mendadak terhenti begitu mendapati sesosok pria berdiri menatapnya dengan tajam.

"Apa kali ini—kamu juga baik-baik saja?" tanya Rama dengan rahang menyatu. Tatapannya semakin tajam saat memperhatikan bajunya.

Wulan mengerjap terhenyak sebelum buru-buru menutupi dadanya yang setengah terbuka. Mendadak rasa malu menyergapnya. Wanita itu menggigit bibir menahan air mata yang siap kembali tumpah. Ya Tuhaan, kenapa pria itu harus selalu muncul di saat yang sama?

"DASAR PEREMPUAN SIALAN!!" teriak Arga tiba-tiba.

Wulan spontan menoleh ke belakang. Saat itu dia melihat Arga berjalan kearahnya dengan aura mengerikan. Membuat ketakutan kembali menguasainya.

"KAMU TAHU APA BERBICARA BEGITU? HAH!!" Arga sudah semakin dekat.

"Wulan!" panggil Rama nyaris membentak.

Wanita itu menunduk sambil memejam kuat-kuat. Sepersekian detik lamanya sebelum kembali mengangkat kepala. Ketika membuka mata, air mata yang dia tahan sejak tadi kembali tumpah membasahi matanya.

Rama kembali mengatupkan rahang. Pria itu menarik nafas dalam-dalam sebelum berjalan menghampirinya. Tidak, pria itu tidak menghampirinya. Rama justru berjalan melewatinya dengan tatapan tajam ke arah Arga dan tangan terkepal.

***

Still need your comment, girls.... ^^

next >>>

AffairTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang