1

570 49 5
                                    

Cowok bermata sendu itu berjalan menuju diskotik langganannya, tempat dia biasa nongkrong bersama teman-temannya. Tidak setiap hari dia mengunjungi tempat itu. Setidaknya dia mengunjunginya tiap satu minggu sekali bersama dua orang temannya. Mereka pergi ke diskotik bukan untuk bermain wanita atau semacamnya. Hanya saja pelampiasan pada luka yang timbul dari kehidupan. Luka yang tidak bisa sembuh tanpa adanya kesadaran dari beberapa pihak yang terlibat.

"Baru kelar shift-nya, Josh?" Tanya cowok bermata sipit dan kalau dia senyum, matanya hilang entah ke mana. Sedangkan cowok satunya hanya melayangkan tangannya untuk bersalaman.

"Masih beruntung gue bisa pulang jam segini. Lo gak tahu berapa banyak tumpukan data riwayat pasien di meja gue. Sampai heran sendiri, banyak banget orang stress di Jakarta."

"Dan lo termasuk di dalamnya." Cowok yang tadi melayangkan tangannya pada Joshua bersuara dengan nada bercanda.

"Ya kali Dokternya gila. Kalau gue gila, gimana pasiennya?" Joshua menanggapi sambil tertawa, lalu menenggak alkohol yang baru saja dia tuang ke dalam gelas kecil.

Mereka bertiga bertemu secara tidak sengaja di diskotik tempat mereka berada sekarang, yang kemudian mereka jadikan tempat langganan untuk bertemu. Awalnya mereka duduk sendiri berjajar di depan bar sampai cowok bermata sipit itu mengajak dua orang di sebelahnya untuk berkenalan. Dari situlah Joshua tahu namanya adalah Bintang. Joshua kaget dengan perlakuan Bintang yang terbilang sok kenal sok dekat, tapi memang kenyataannya sifat Bintang seperti itu, mudah bergaul dengan siapa saja.

Cowok di sebelah kiri Bintang yang terlihat dingin dengan tatapan tajam mengenalkan dirinya dengan suara beratnya. Namanya Rendi Lazuardi. Dia mengenalkan dirinya atas paksaan dari Bintang. Kalau saja Bintang tidak memaksa sampai satu jam lamanya, Rendi sudah dipastikan tidak akan bergabung dengan Joshua dan Bintang.

Waktu itu, mereka bertiga hampir setiap hari pergi ke diskotik sebelum memutuskan satu hari dalam satu minggu untuk bertemu. Berbincang panjang lebar saat tidak sadar karena pengaruh alkohol menjadikan mereka bertiga dekat seperti sekarang. Apa yang mereka bicarakan adalah tentang masa yang menjadikan alkohol sebagai pelampiasan. Luka yang disebabkan oleh kedua orang tua mereka.

"Jadi, lo sekarang tinggal bareng adek-adek lo?" Tanya Bintang. Kurang lebih Bintang dan Rendi tahu keadaan Joshua, begitupun sebaliknya.

"Gue pindah, mereka harus pindah. Gak tega lihat mereka yang harusnya belajar terganggu sama orang tua yang tiap malam kerjaannya adu mulut terus."

"Nyokap lo setuju?" Giliran Rendi yang bertanya, penasaran dengan cerita temannya itu.

"Gue gak butuh persetujuan mereka untuk itu. Adek-adek gue perlu fokus belajar, bukan dengerin hal-hal yang malah bikin mereka stress."

"Dan adek-adek lo mau?"

"Yasmine awalnya gak mau, tapi setelah gue dan Theo jelasin pelan-pelan akhirnya dia mau."

"The power of Joshua Gibran. Gak ada yang nolak kalau yang ngajak lo Josh." Bintang ngeledek sambil ketawa, ingat kalau wajah Joshua itu gampang banget buat ngehipnotis orang buat nurut sama dia. Makanya dia cocok banget jadi Psikolog.

Bukan karena wajah Joshua yang memang kelihatan adem kalau dilihat, Theo dan Yasmine mikir kalau kakaknya itu benar. Mereka ingin fokus belajar, walaupun sebelumnya Yasmine gak tega lihat maminya ngadepin semuanya sendiri. Itu alasan dia berat ninggalin rumah.

Blessure [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang