JIKA ADA KEMASLAHATAN BERTABRAKAN, MAKA MASLAHAT YANG LEBIH BESAR HARUS DIDAHULU

253 3 0
                                    

KAIDAH KE-33 : JIKA ADA KEMASLAHATAN BERTABRAKAN, MAKA MASLAHAT YANG LEBIH BESAR HARUS DIDAHULUKAN

QAWA’ID FIQHIYAH

Kaidah Ketiga Puluh Tiga

إِذَا تَزَاحَمَتِ الْمَصَالِحُ قُدِّمَ اْلأَعْلَى مِنْهَا وَإِذَا تَزَاحَمَتِ الْمَفَاسِدُ قُدِّمَ اْلأَخَفُّ مِنْهَا

Jika ada beberapa kemaslahatan bertabrakan, maka maslahat yang lebih besar (lebih tinggi) harus didahulukan. Dan jika ada beberapa mafsadah (bahaya, kerusakan) bertabrakan, maka yang dipilih adalah mafsadah yang paling ringan

MAKNA KAIDAH

Kaidah ini menjelaskan, apabila ada beberapa kemaslahatan yang tidak mungkin digabungkan (diraih ataupun dikerjakan sekaligus, red), maka kemaslahatan yang lebih besar yang didahulukan. Karena pada (urusan yang mengandung) kemaslahatan lebih besar itu ada tambahan kebaikan dan lebih dicintai oleh Allâh Azza wa Jalla . Adapun jika beberapa maslahat tersebut bisa dikumpulkan dan bisa didapatkan semuanya maka itulah yang lebih diutamakan lagi.

Sebaliknya, apabila berkumpul beberapa masfsadat (keburukan) yang terpaksa harus ditempuh salah satu darinya, maka dipilih yang paling ringan mafsadatnya. Adapun jika mafsadat-mafsadat tersebut bisa dihindari semuanya, maka itulah yang diharapkan.[1]

DALIL YANG MENDASARINYA
Dalil yang mendasari kaidah ini di antaranya adalah firman Allâh Azza wa Jalla.

فَاسْتَبِقُوا الْخَيْرَاتِ

“Maka berlomba-lombalah kamu (dalam berbuat) kebaikan. [al-Baqarah/2:148]

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimin rahimahullah berkata, “Pada ayat ini Allâh Azza wa Jalla memerintahkan kita untuk berlomba-lomba dalam kebaikan. Hal ini menunjukkan bahwa setiap kali suatu hal itu lebih baik, maka kita diperintahkan untuk bersegera kepadanya (untuk melakukannya).”[2]

Demikian pula firman Allâh Azza wa Jalla

وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِنْ دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ

“Dan janganlah kamu memaki sesembahan-sesembahan yang mereka sembah selain Allâh, karena mereka nanti akan memaki Allâh dengan melampaui batas tanpa pengetahuan” [al An’âm/6:108]

Syaikh Muhammad bin Shâlih al-‘Utsaimîn rahimahullah berkata, “Pada ayat ini disebutkan berkumpulnya dua mafsadah (keburukan). Mafsadah yang pertama adalah meninggalkan celaan terhadap sesembahan orang-orang musyrik. Mafsadah yang kedua adalah celaan (balasan) orang-orang musyrik kepada Allâh Azza wa Jalla . Dan telah maklum bahwa celaan kepada Allâh Azza wa Jalla lebih besar keburukannya daripada meninggalkan celaan kepada sesembahan orang-orang musyrik. Oleh karena itu, Allâh Azza wa Jalla melarang dari mencela sesembahan orang-orang musyrik jika hal itu menyebabkan mereka mencela Allâh Azza wa Jalla Rabbul ‘Alamî.”[3]

Demikian pula kisah Khidhir Alaihissallam dan Nabi Musa Alaihissallam ketika mereka naik perahu dan kemudian Khidhir Alaihissallam merusak perahu tersebut.[4] Telah dimaklumi bahwa merusak perahu merupakan keburukan. Akan tetapi, Khidhir Alaihissallam menghendaki supaya perahu tersebut selamat dari perbuatan raja zhalim yang suka merampas setiap perahu yang bagus. Maka, merusak perahu tersebut adalah mafsadah (merugikan), tetapi dirampasnya perahu tersebut lebih besar mafsadahnya (kerugiannya). Sedangkan jika perahu itu rusak, namun masih menjadi milik si empunya maka itu lebih ringan. Sehingga ditempuh mafsadah yang lebih ringan.[5]

CONTOH PENERAPAN KAIDAH

Kaidah ini mempunyai contoh penerapan yang cukup banyak, baik berkaitan dengan ibadah maupun muamalah. Di antaranya :

REMAJA ISLAM PART 5Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang