Harusnya Mark tak pernah membenci Taeyong. Harusnya ia tak pernah mencoba mendekati Taeyong hanya untuk perhatian ayahnya. Harusnya ia tak pernah berkomunikasi, membicarakan hal-hal pribadi dengan Taeyong. Harusnya Mark tahu bahwa semua yang ia lalukan mempunyai konsekuensi yang riil di akhir. Harusnya Mark tidak mengenal Taeyong.
Pikirannya begitu kacau ketika melihat kemistri yang baik antara sepasang kekasih yang tinggal bersamanya kini dan menginginkan Mark membiasakan mereka sebagai orang tuanya. Tekanan mental, ketakutan, dan keraguannya sangat kuat mengenai apa yang ia alami sekarang. Semenjak kekasih ayahnya itu kembali kerumah, melakukan semua aktivitas selayaknya orang tua biasa, memberikan kasih sayang, menjadi keluarga yang tentram dan begitu nyaman, Mark merasa asing dengan perasaannya kali ini.
Mencoba Menerima. Cukup untuk mendeskripsikan perasaan Mark kali ini. Mencoba tidak memupuk kembali penyakit hati yang berlarut-larut sampai akhirnya menjadi bagian dari jiwanya.
Berhari-hari, berminggu-minggu, berbulan? mungkin. Hampir empat bulan mereka tinggal bersama selayaknya keluarga biasa. Sarapan bersama, makan malam bersama, membagi tawa. Yang terakhir perlu dijelaskan.
Membagi tawa. Kedengaran begitu bahagia. Mungkin itu yang dirasakan Jaehyun dan Taeyong. Mark? Palsu.
Senyumnya palsu. Tawanya palsu. Ketika semakin dalam ia menerima, semakin lama hatinya gondok bahwa ia tidak menginginkan ini.
Mark duduk berhadapan dengan Jaehyun, melihat ayahnya begitu fokus pada layar ponsel. Kemudian ayahnya itu menggeser beberapa foto yang membuatnya bahagia bukan main.
"Bagaimana menurutmu?" Tanya Jaehyun sambil tersenyum memperlihatkan layar ponselnya. Memperlihatkan foto dirinya dan Taeyong dengan tuxedo yang selaras.
Mark menatap mata ayahnya, menimang-nimang ekspresi yang tepat untuk membalas raut muka ceria ayahnya. Kemudian melihat layar ponsel yang ayahnya tunjukkan. "Cool,"
Senyum Jaehyun hilang. "What's wrong?"
Mark mengatupkan giginya. Mencebikkan bibirnya dan menggeleng kecil. "There's nothing wrong with it."
"Ya, tapi mengapa kau merespon hanya dengan muka datar? I though you have already learn."
"Perhaps,"
Jaehyun diam. Mengangkat kedua alisnya dan memperlihatkan ekspresi 'jelaskan padaku sekarang'.
"Ayah egois. Pembohong." Celetuk Mark. Kemudian menyendenkan bahunya ke sofa.
"Kita sudah membicarakan ini berulang-ulang, Mark. And I'm getting sick of it."
"Ayah meminta izin padaku. Ayah bilang tidak akan menikah sampai mendapatkan izinku."
"I'm not deaf. You say it yourself. 'Yeah of course sure', what do you mean by that?"
"Ayah akan tetap menikah ngomong-ngomong. Tanpa harus mendengarkan argumen ku lagi."
Jaehyun menatap anaknya mantap. Menaruh ponsel di meja yang ada di depannya. Kedua tangannya ia lipat di dada, kakinya menyilang, lalu menyendenkan tubuhnya di sofa. "Aku menyayangimu, Mark. Itu tidak akan mengubah sayangku padamu. Tidak akan."
"It will. When you know it." Jawab Mark seadanya. Mark menunduk memainkan jemarinya.
"Lihat aku. Aku ayahmu. Aku yang membesarkanmu. Kau meremehkanku. Memangnya apa yang tidak aku tau?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Mess
FanfictionMess; A Jaeyong Fanfiction by shaphireavox Mark tidak menginginkan orang tua kedua. Dia tidak pernah menginginkan kedatangan sesosok Taeyong dalam hidupnya. Karena selama 17 tahun dia hanya bersama Jaehyun -ayah yang sangat mencintainya. Tetapi Jaeh...