Jaehyun mengetuk pintu kamar Mark. Ia memanggil nama anaknya itu beberapa kali. Tapi tidak ada respon sama sekali. Jaehyun mengetuk lagi dan mencoba menenangkan emosinya.
"Jung Minhyung," panggil Jaehyun akhirnya. Ketika panggilan itu berubah diiringi nada yang lemah, Mark akan tahu bahwa ayahnya sedang marah. "Bisa ayah bicara?"
Mark bergegas meninggalkan kasurnya. Ia berdiri dan membukakan pintu kamarnya tak lupa mengusap air mata yang sudah meleleh tak karuan dipipi.
Mark membuka pintu kamar. Ayahnya memasukkan kedua tangannya di saku celana. Memandang lekat anaknya itu dengan tatapan lembut dan tidak terdefinisi.
Mark menciut, menyilahkan ayahnya masuk. Tapi Jaehyun masuk begitu saja, melihat AC yang tidak nyala dan hanya ada kipas angin kecil dengan mode berputar di meja nakas Mark.
Mata Jaehyun beralih ke foto yang terpajang tepat disamping lampu tidur. Foto dirinya sedang menggendong Mark. Ia tersenyum, mengalihkan pandangannya ke Mark yang sudah berbaring sambil memeluk guling. Jaehyun berani taruhan kalau dia menangis lagi.
Dipandanginya sekali lagi foto itu. Fragmen-fragmen memori masa kecil Mark silih berganti memasuki ingatan Jaehyun. Dia ingat bagaimana dirinya membesarkan Mark seorang diri. Mark yang pemalu dan pendiam selalu berlindung dibalik punggung ayahnya. Kenangan pahit dan manis terjadi hanya milik mereka berdua.
Senyum lagi-lagi terukir dibibir Jaehyun. Ia bergerak mendekati foto itu, mengambilnya dan memandangi foto berbingkai hitam dengan sejuta kenangan. Ia duduk diranjang Mark. Tangan kanannya membelai surai Mark dan tangan kirinya masih memegangi bingkai berisi foto dirinya dengan Mark.
"Kau menangis?" Jaehyun bertanya. Mark hanya menggeleng, masih menyembunyikan wajahnya tak mau bertemu pandang.
"Kau menangis." Ujar Jaehyun, pertanyaannya berubah menjadi pernyataan. Mark bangun, mengusap kedua matanya. Duduk menghadap ayahnya dan terdiam.
Jaehyun menaruh foto itu kembali di tempatnya. "Akhir-akhir ini ayah sering melihatmu menangis." Jaehyun menggenggam salah satu tangan Mark yang meninju kasurnya. Mark tidak bergeming sama sekali. "Ingat jika ayah selalu bilang kau seberani-"
"I'm not a lion, dad." Mark memotong pembicaraan ayahnya. "Aku pecudang."
Jaehyun meneguk liurnya sendiri. Bingung bagaimana memulai percakapan lagi dengan anaknya. Jaehyun mengusap punggung tangan Mark dengan ibu jarinya. "Maafkan ayah, sayang."
Jaehyun menarik tangan Mark, menenggelamkan wajah
Mark di dadanya. Seketika itu tangis Mark pecah, ia memeluk balik ayahnya. Wajahnya terasa panas dan matanya perih bukan main. Suara rintihan tangis terdengar lirih dari balik pelukan Jaehyun.Jaehyun sadar, bahwa ia tak pernah paham dengan perasaan anaknya. Selama ini ia tak pernah mengenalkannya sosok ibu. Jaehyun selalu merangkap posisinya menjadi seorang ayah pun seorang ibu. Tak mudah baginya untuk melakukan hal tersebut, sebisa mungkin ia menjadikan Mark nyaman hanya dengan satu orang tua. Dan akhirnya Mark pun menerima keadaannya. Lagipula Mark memang tidak terlalu peduli dengan sosok seorang ibu, sampai Taeyong datang.
"Ayah menyayangimu, nak. Itu tak akan berubah."
Mark bergerak untuk melepas pelukan ayahnya. Ia berhenti menangis. Matanya masih sembab tetapi ia paksakan untuk mendongak bertemu pandang.
"Ayah menyayangiku?" ucapnya lirih.
"Tentu saja." Jaehyun menjawabnya secepat mungkin. Ia menyayangi Mark. Sangat menyayanginya.
"Aku boleh minta satu hal?" Mark menahan suaranya agar tidak bergetar.
"Berkaitan dengan pernikahan?" Jaehyun bertanya balik. Dia mencoba tersenyum dihadapan anaknya itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Mess
FanfictionMess; A Jaeyong Fanfiction by shaphireavox Mark tidak menginginkan orang tua kedua. Dia tidak pernah menginginkan kedatangan sesosok Taeyong dalam hidupnya. Karena selama 17 tahun dia hanya bersama Jaehyun -ayah yang sangat mencintainya. Tetapi Jaeh...