Kalau kalian membayangkan Drew yang menarikku ke dalam pelukan hangatnya setelah aku menyatakan kata cinta padanya, kalian salah besar. Drew hanya menatapku dan menghela napas sembari mengeratkan genggaman tangannya. Tidak ada penolakan atau penerimaan secara verbal. Dan aku hanya bisa memejamkan mata sejenak, berusaha mengatur emosi dan kucuran air mata.
Entah apa yang terjadi, tapi yang jelas beberapa hari ini aku merasa lelah secara emosional yang membuatku gampang menangis.
Tidak, aku tidak hamil! Tadi pagi aku baru mengeceknya menggunakan testpack dan hasilnya masih satu garis.
Drew menarik tanganku saat lift berhenti di lantai dimana flatnya berada, dan langsung mendudukkanku di ruang tamu flatnya setelah dia berhasil membuka pintunya. Drew langsung menuju kitchen island tanpa berusaha berbasa-basi denganku. Dan entah bagaimana, ini berhasil membuatku ingin menyerah begitu saja. Aku kembali menganggap kalau apa yang Drew lakukan kali ini sebagai caranya untuk menolakku secara halus.
Aku memejamkan mataku rapat-rapat dan menghembuskan napasku perlahan, menggelengkan kepalaku perlahan karena tiba-tiba aku merasa kalau aku belum sanggup mengatakan apapun hari ini.
Lebih tepatnya, aku belum siap untuk ditolak oleh Drew. Seharusnya aku bisa memikirkan ucapan apa yang bisa mempersuasi dirinya agar kembali padaku dan memulai semuanya dari awal. Tidak hanya dengan modal nekad dan sebuah kata cinta yang terasa basi setelah aku melemparkan bom padanya tempo hari.
Ya, mungkin sebaiknya aku pergi dari sini dan kembali saat aku punya sederet alasan yang tidak bisa ditolak oleh Drew.
Aku membuka mataku dan mendapati Drew yang duduk menatapku intens. Di depanku sudah tersaji coklat panas dengan uap yang masih mengepul di atasnya.
"Drew, sebaiknya aku..."
"Ayo kita bicarakan segalanya sekarang, Jessica." Potongnya langsung. "Aku tidak mau menunda lagi hanya karena kau yang tidak siap."
Drew yang lembut dan pengertian sudah hilang. Tidak ada Drew yang setengah jam lalu berlari meraihku dan memelukku hangat. Tidak ada Drew yang memandangku hangat, yang ada sekarang hanya Drew yang memandangku tajam.
Aku meneguk ludahku. Jujur, tanganku sedikit gemetaran karena berusaha menahan rasa gugup, takut dan terpojok. Aku ingin melarikan diri dari sini sekarang dan kembali nanti saat aku kembali siap. Tapi aku tahu kalau Drew tidak akan menerima alasan apapun.
Aku berdehem untuk melonggarkan tenggorokanku yang tiba-tiba terasa mencekik. "Bagaimana kalau..."
"Jangan berusaha menunda lagi, Jessica. Kau tahu kalau aku tidak sesabar itu." Drew merebahkan punggungnya pada sofa dan menekuk tangannya di depan dada. "Lalu apa maksudmu mengatakan kalau kau mencintaiku? Apa aku harus mempercayainya saat kau sendiri tidak percaya dengan segala kata cinta yang aku ucapkan?"
Aku tahu, aku bisa menangkap nada marah dan sinis dari ucapannya, tapi hal itu tidak membuatku merasa emosi atau marah. Karena satu-satunya hal yang aku rasakan sekarang hanya penyesalan atas semua ucapan yang sudah aku lemparkan.
Dan juga penyesalan Karena aku tidak pernah mengijinkan Drew untuk tahu perasaanku yang sebenarnya.
"Jadi bagaimana Jessica? Mana yang harus aku percaya? Kau yang mencintaiku atau kau yang tidak pernah percaya kalau aku mencintaimu?"
Aku menggeleng dan memutuskan kalau ini bukan saatnya untuk bicara pada Drew. Aku harus pergi sebelum aku tidak bisa menghandle emosiku atau emosi Drew.
"Lets talk later." Aku mengambil tasku dan langsung bangkit dari sofa. Aku tersenyum tipis dan akan berjalan menuju pintu sebelum Drew kembali bersuara dan mampu membuatku berusaha menekan emosiku kedasar terendah.
KAMU SEDANG MEMBACA
002. Gay Guy
Romance"Mungkin tidak kalau dia jodohku?" Jessica percaya kalau lelaki yang dibawa Megan tempo hari adalah jodohnya. Persetan kalau dia menolak! Toh ia bisa memaksanya kan? cover by A-List