Kereta berdecit pelan saat awan terlihat jingga, beberapa burung berterbangan pulang mengingat hari sudah mulai redup meski belum penuh. Di tempat pemberhentian ini, tak banyak orang yang keluar dari kereta, karna memang sedikit yang berkunjung ke tempat yang di kenal dengan daerah terpencil di Korea itu. Nayeon menarik kopernya, menelusuk ke stasiun sederhana dan satu-satunya yang berada diㅡapa tadi? Jeongseong? Ya? Ya, mungkin itu. Entahlah. Bahkan Ia tak berhenti menggerutu kala Ia harus pindah ke tempat ini. Surat terakhir ayahnya mengatakan kalau Nayeon harus menemui saudara satu-satunya yang tersisa di keluarga mereka, mengingat ayahnya itu anak tunggal, dan ibunya yang hanya memiliki satu kakak. Benar, kakak ibunya memang menetap di daerah yangㅡdemi Tuhan, ini sangat jauh sekali dari Seoul.
Seseorang membawa papan berukuran sedang, namanya tertulis dengan kapur putih, bahkan Ia menggambar wajah perempuan dengan rambut dikepang dua, sedang di samping kiri terdapat gambar hati 3 bijiㅡapa-apaan? Dia pamannya? Ah, tapi dia sangat muda untuk di bilang paman. Pamannya tentu sudah tua dan setidaknya memiliki beberapa uban di kepala, dan jelas bukan pemuda yang saat ini mengangkat papan nama tinggi-tinggi ituㅡjujur itu berlebihan.
Menyeret kakinya mendekat, laki-laki itu terlihat berbinar dengan senyum kotak tersemat, "Im Nayeon?" tanyanya antusias. Oh tentu saja, memang siapa lagi yang akan mendekat kalau bukan Nayeon? Ayolah, Namanya yang tertulis, tentu saja Nayeon yang datang. Gadis itu mengangguk, dahinya berkerut tak kala kopernya sudah diseret dengan semangat, oh bahkan tangannya juga diseret. Siapa?
"Hei-" dia hendak melayangkan protes, namun laki-laki itu kembali tersenyum dan membuat Nayeon menutup mulutnya seketika,
"Kau melupakan ku, ya?" tanyanya sembari menuju ke sebuah mobil tua berwarna merah. Gadis itu terdiam, bahkan ini jauh lebih buruk dari pada yang Nayeon bayangkan. Mobilnya ㅡkusam sekali.
"Terakhir aku kesini saat aku berumur 7 tahun. Tentu saja aku lupa"
Memutus lamunannya, gadis itu sudah duduk di kursi depan, membuka jendela mobil kemudian memasang sabuk pengaman. Perlu diingat bahwa Nayeon masih dalam kondisi kurang baik saat ini.
"aku Kim Taehyung. Kau ingat? Aku yang selalu menemanimu bermain dulu, wah.. Kau berbeda sekali sekarang, kau semakin tinggi, kau juga cantik, kalau kau bukan sepupuku, mungkin aku akan jatuh cinta pada pandangan pertama"
Ucap laki-laki itu sembari terkekeh, kata-katanya sukses membuat Nayeon merasa mual seketika,
Taehyung mulai membawa mereka menelusuri daerah kecil itu, bibir Taehyung tak henti-henti nya tersenyum menunjukkan gigi ratanya yang putih, membuat Nayeon semakin merasa aneh berada di dekat Taehyung. Dia gila atau apa, sih?
"Kau Taehyung yang pernah ku buat menangis karna permen gulamu ku buang ke sungai itu?" beberapa memori masa kecilnya mulai mengisi kepala Nayeon. Ya, dia ingat laki-laki ini, dia menyebalkan sekali dan sering mengadu pada paman saat mereka bertengkar. Oh astaga, Taehyungㅡya, Kim Taehyung.
"Syukurlah kau ingat, tapi aku tak suka menangis lagi, aku sudah besar"
Nayeon nyaris saja tersedak ludahnya, siapa juga yang masih mengira dia cengeng? Mereka sudah sebesar ini, astaga.
"Kita seumuran, kan?" Taehyung menoleh, kemudian mengangguk pelan. Kini, wajah Taehyung sedikit serius karna tengah menyetir. Nayeon menatap Taehyung lamat-lamat, kalau di pikir-pikir, Taehyung ini tak buruk sebenarnyaㅡah tidak, bahkan Ia tampan sekali. Kalau dia tinggal di seoul, mungkin akan ada banyak agensi yang mau merekrutnya menjadi Idol. Sayang Ia harus terkurung di daerah sekecil ini. Menyia-nyiakan wajah tampannya itu.
"Aku akan menjelaskan beberapa jalan agar kau tak tersesat nantinya, dan heiㅡitu sekolah kita"
Taehyung menunjuk sebuah gedung dua lantai di sebelah kanan, membuat atensi Nayeon mengikuti telunjuk Taehyung. Ya, Tidak buruk, tapi itu jauh lebih kecil dari sekolahnya yang dulu.