02. Luka

4.2K 331 29
                                    

"Jika aku adalah kamu, maka aku takkan membiarkanku pergi."

-Patiently-

Sheila akhirnya sampai di depan kelas dua belas IPA Satu. Selanjutnya, ia tinggal menunggu Annisa keluar dari kelasnya. Hanya sebentar, Sheila sudah melihat seorang gadis berkucir satu berlari dari ruangan itu.

"Nih." Annisa memberikan berkas ke Sheila. "Usahakan kasih ke kantor dulu ya, kalau Pak Mahmudnya gak ada, lo taruh aja di laci mejanya. Terus kalau lacinya terkunci, usahain entar sore lo mampir ke rumahnya Pak Mahmud lah, ya? Rumah lo sama beliau kan deket aja tuh," pesannya yang kemudian berjalan, meninggalkan Sheila sendirian.

"Bentar Mba!"

Annisa berbalik. "Apa?" tanyanya. "Cepetan, gue sibuk banget nih. Belum lagi entar sore gue les bahasa inggris di rumahnya Bu Puput. Terus siang ini ke rumah sakit. Tadi gue sibuk ngurusin design baju kelas. Makanya gue minta tolong sama lo, please, mau ya?"

"Iya Mba." Sheila mengangguk. "Tapi--"

"Apa lagi?"

"Nggak pa-pa, nggak jadi." Annisa mendengus menatap Sheila. Kemudian ia pun berlari menuju gerbang utama. Tanpa mengucapkan terima kasih.

Namun, seorang laki-laki tinggi dengan pergelangan tangan yang sengaja ditenggelamkan pada saku celana menghentikan langkah Annisa.

"Apa sih?!" Annisa mendengus.

Laki-laki itu tersenyum. "Mau ke mana?"

"Pulang lah!"

"Tumben lambat."

"Gue design baju kelas tadi. Udah deh, minggir lo!" titah Annisa.

Laki-laki itu mendekat. "Cewek di sana, siapa?" tanyanya sambil menunjuk punggung Sheila, si gadis yang berjalan menjauh dari koridor kelas dua belas.

Annisa menaikkan sebelah alisnya. "Dia Sheila, adek kelas langganan suruhan gue sejak SD. Dia pendiam, sopan, baik sayangnya posesif dan gak mudah bergaul. Dia pacarnya Ardiaz, lo tau 'kan?"

Laki-laki beralis tebal itu tersentak. "Cakep-cakep temennya sedikit, sayang." Ia pun berbalik dan berjalan menuju koridor kantor guru.

"Mau ke mana lo?" tanya Annisa yang juga meneruskan langkah menuju lorong utama di lantai satu.

Yang ditanya hanya mengangkat ponselnya ke atas, menandakan bahwa ia akan melakukan suatu kegiatan yang berkaitan dengan benda pipih berwarna hitam itu. "Biasa!"

Annisa terkekeh. "Oh."

* * *

Sheila berjalan dengan langkah yang teramat cepat menuju kantor guru. Embusan angin menerpa rambut panjangnya yang sengaja digerai, membuatnya terlihat elegan saat itu.

Sesampainya di kantor guru, Sheila melihat sepinya ruangan itu. Hanya ada dua guru yang masih berlalu lalang di sana. Namun, Pak Mahmud, guru yang menjadi tujuan Sheila datang ke sana sepertinya sudah pulang.

Gadis dengan rambut yang tidak lagi diterpa angin itu pun masuk ke dalam dan berjalan menuju meja Pak Mahmud setelah meminta izin ke dua guru yang masih sibuk tersebut.

Sheila membuka laci meja Pak Mahmud yang untungnya tidak terkunci. Ia meletakkan beberapa lembar kertas beserta mapnya di dalam sana lalu kembali menutupnya dengan rapat. Tugasnya selesai, sekarang ia harus menghampiri Ardiaz yang sepertinya sudah menunggu.

PatientlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang