"I'm sorry."
-Patiently-
Puas menangis, Sheila pun melangkahkan kakinya keluar dari area sekolah. Ia tidak tahu harus pulang dengan apa dan bersama siapa. Yang jelas, ia tak lagi pulang bersama Ardiaz karena dengan teganya ia meninggalkan Sheila di halaman belakang sekolah.
Ardiaz adalah tetangga Sheila yang rumahnya tidak jauh. Mereka sudah bersahabat dari kecil dan jadian pada awal masuk SMA. Namun, Ardiaz merasa bahwa hubungan mereka selama ini tidak membawa kemajuan apapun untuk Sheila. Itu sebabnya ia mengakhiri semuanya. Entah apa sekarang status Sheila. Mungkin bukan lagi pacar ataupun sahabat, melainkan mantan.
Mata Sheila terlihat bengkak selepas menangis. Ia akui, ia adalah gadis yang cengeng. Yang bisa ia lakukan sekarang hanyalah dengan berjalan kaki pulang menuju rumah yang letaknya sangat jauh dari sekolah. Ponsel low battery alias mati dan uang sudah habis, sekarang gadis itu benar-benar tak punya pilihan karena sepanjang perjalanan menuju rumah, tidak ada satupun rumah teman yang ia kenali.
"Astaga! Itu Sheila!" suara cempreng milik seseorang membuat Sheila menoleh dengan sigap. "Ya ampun, sini La!"
Sheila mengernyit melihat gadis yang sedang duduk di bangku depan rumah seorang penjual es yang sering disebut sebagai pangkalan menunggu jemputan. Di sana ada Gladis dan teman-temannya.
"LOH, KOK LO JALAN SENDIRI?" tanya Gladis itu dengan lantang karena Sheila berdiri cukup jauh darinya.
Sheila hanya diam. Ia terus berjalan, mengabaikan Gladis yang bingung setengah mati itu. Namun Gladis tak tinggal diam, ia segera menyusul Sheila yang berjalan di seberang sisi jalan.
"Sheila! Sheila!" Gladis menarik lengan Sheila.
Namun Sheila tetap mengabaikannya.
"La, Sheila!" Gladis berjalan melampaui Sheila lalu berbalik dengan kedua tangan yang terbuka, menghalangi langkah gadis bermata sembab itu.
"Minggir!" pinta Sheila dengan suara parau.
"Ada apa La? Ya Allah!" Gladis berdiri menghalangi langkah Sheila dengan terus menahan tubuh temannya agar tidak pergi. "Kenapa sih?" tanyanya sambil menggenggam kuat pergelangan tangan Sheila yang berontak ingin berjalan terus.
"Kalau ada masalah ya cerita! Jangan bersikap begini. Memang gue nggak tau apa-apa, tapi kalau lo mau cerita pasti gue bisa kasih saran kok. Gue sahabat lo La, dari kecil!" Akhirnya, Gladis mengeluarkan kalimat tersebut.
Sheila diam, ia berhenti memberontak ketika Gladis menatapnya dalam. Sheila menunduk dan mengangguk ke sahabatnya itu.
Gladis paham. "Ya udah, kita duduk dulu di bangku pekarangan rumah Bu Andini. Terus lo cerita ke gue semuanya." Gladis menuntun Sheila berjalan menuju pekarangan rumah bercat merah muda yang sering menjadi tempat menunggu jemputan itu.
Gladis dan Sheila duduk di bangku. Bukan hanya mereka yang duduk di bangku tersebut. Ada beberapa gadis lagi yang sama seperti Gladis, yakni menunggu jemputan.
Hal inilah yang membuat Sheila sedikit canggung lantaran ia tidak mengenal semua gadis teman Gladis di sana, meskipun dua dari mereka adalah teman kelasnya.
"Jelasin kenapa?" Gladis menatap Sheila. "Lo punya masalah? Sama siapa? Diaz lagi?"
Sheila yang menunduk pun mendongak menatap Gladis. "Kok lo tahu?"
Gladis memutar bola matanya. "Hello, lo inget nggak, siapa cewek yang lagi duduk di samping lo ini?" Gladis menunjuk dirinya, membuat Sheila menyegir. "Gue 'kan suka ngumpul sama bubuhan gosip sekelas, makanya gue tau. Tapi, gue nggak tau sih masalah lo apa."
KAMU SEDANG MEMBACA
Patiently
TienerfictieBagaimana jika orang yang kau cintai, tiba-tiba menusukmu dari belakang? Bersikap manis di saat ada maunya, lalu menjatuhkanmu ketika kau masuk dalam perangkapnya. Sakitnya pasti tidak bisa dijelaskan. Seperti Sheila yang menghadapi banyak hal baru...