*Perhatian!
Ini mungkin jadi part terpanjang di cerita ini. Pastikan mata kalian kuat bacanya. Jangan lupa vote dan komentarnya!
Happy reading:)
= Patiently =
Lima hari sudah berlalu, namun Sheila tak kunjung berani untuk menanyakan seputar gelang pemberian dari Pak Arshad itu karena akhir-akhir ini Daniel terlihat lebih tertekan. Bahkan sampai hari terakhir ulangan pun Sheila masih tidak berani.
Mengapa Sheila tahu Daniel terlihat lebih tertekan? Karena dia sudah menjadi penguntit dadakan sekarang. Sheila sering kali memerhatikan Daniel tanpa sadar. Bahkan saat mereka duduk di kantin sekalipun, Sheila selalu dapat menemukan Daniel di tengah-tengah banyaknya siswa di sana.
Gladis menepuk meja yang seketika membuyarkan lamunan Sheila. "Van, ambilin kecap di sana!" titahnya pada Vani yang di sampingnya terdapat kecap.
Sheila menarik napas dalam lalu menghelanya. "Gladis, kok lo demen banget sih bikin orang kaget?"
Gladis menyengir. "Biar lo bangun La, ngelamun mulu perasaan. Masih mikir ulangan yang tadi ya?"
Sheila hanya mengangguk-angguk saja.
"Heh, tadi itu tuh ulangan yang terakhir. Ikhlaskan aja. Nggak usah dipikirin. Lebih baik kita makan sekarang. Be happy La! Ulangan udah berakhir, jam kosong, dan
liburan udah di depan mata. Ya 'kan Van?" Gladis menaik-turunkan alisnya, menatap Vani yang menganggukkan kepala."Eh ada Nindy, Jelita sama Nazwa. Panggil mereka Dis!"
"JELITA, NINDY, NAZWA!" Sang pemilik nama pun menoleh membuat Gladis tersenyum semringah. "SINI!"
Untungnya kantin tidak seramai biasanya, jadi suara Gladis dapat terdengar hingga ke segala penjuru. Bahkan beberapa dari siswa di sana, sempat ada yang mengeluhkan kepalanya yang terasa pusing tiba-tiba setelah mendengar teriakan Gladis.
Jelita, Nindy, dan Nazwa langsung duduk di kursi yang mengelilingi meja yang ditempati Sheila, Vani, dan Gladis.
"Ih kita lama nggak ngumpul semenjak Gladis dijemput cepet ya," ujar Jelita, "terus sekarang si Vani juga selalu bareng sama Rio. Sheila juga jarang nunggu jemputan di pangkalan."
Ketiganya hanya menyengir.
"Kapan-kapan kita nobar lagi yuk!" seru Nindy.
"Di rumah Kelly!" seru Gladis tak kalah heboh.
"Nonton film hantu!" sambung Vani.
"Jangan film hantu, stupid! Gue nggak bisa tidur kalau malam!" tolak Gladis.
"Sudah eh sudah. Ngomong boleh, tapi jangan lupa makan. Itu tuh, baksonya kesian nggak di makan." Nindy mengingatkan.
Semuanya yang ada di meja itu pun terdiam dan mulai menyantap makanan mereka hingga suara seorang gadis dari ujung pintu terdengar.
"DAVID!"
Trang! Nring!
Bunyi piring yang terjatuh dari atas meja menyentak semuanya. Namun gadis yang berteriak itu, si pelaku, tidak peduli. Ia hanya melangkahi piring yang sudah pecah dan berjalan mengikuti laki-laki bernama David itu keluar dari kantin. Parahnya, piring yang pecah tidak hanya satu, tetapi tiga.
Tentu saja Sheila dan yang lainnya melihat kejadian itu. Mereka langsung berdiri ketika melihat malangnya Bu Ati, salah satu penjual di kantin yang memunguti piring pecah itu seraya menggelengkan kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Patiently
Ficção AdolescenteBagaimana jika orang yang kau cintai, tiba-tiba menusukmu dari belakang? Bersikap manis di saat ada maunya, lalu menjatuhkanmu ketika kau masuk dalam perangkapnya. Sakitnya pasti tidak bisa dijelaskan. Seperti Sheila yang menghadapi banyak hal baru...