15. Rumah Makan

3.1K 248 11
                                    

Sheila menatap malas ke rentetan huruf yang dituliskan Pak Arshad di papan tulis. Setelah pelajaran Bu Pipit yakni Seni Budaya, lanjut ke pelajaran Pak Arshad yakni fisika yang entah kenapa membuat Sheila malas mengikutinya.

Semenjak Sheila mengetahui bahwa ibunya memiliki suatu hubungan spesial dengan gurunya itu, Sheila mulai merasa tidak nyaman bertemu dengan Pak Arshad.

Sheila merasa canggung. Ia tidak bisa membayangkan seperti apa Pak Arshad ketika sudah resmi menjadi ayah tirinya. Karena Pak Arshad adalah orang yang tegas, kuat, cekatan dan jenius. Berbanding terbalik dengan Sheila.

Dalam batin Sheila selalu mengatakan, Cukup guru aja yang kayak begitu, orang tua jangan sampe Ya Allah. Namun semua itu harus pupus. Dan mau tidak mau Sheila harus menerimanya.

"Sheila!" panggilan itu terdengar tegas ke arah Sheila dari Pak Arshad, membuat Sheila membuyarkan lamunanya seketika. Degupan jantungnya pun mendadak cepat.

Sheila mendongak ke arah Pak Arshad yang sedang melotot ke arahnya. Ia pun tersenyum canggung sambil pura-pura memerhatikan penjelasan lanjut Pak Arshad, meskipun ia tidak mengerti.

Ia memang salah. Melamun kok pas jam pelajaran Pak Arshad.

* * *

Riuh langkah dan perbincangan siswa terdengar sepanjang koridor sekolah baik di lantai satu maupun dua, menandakan bahwa jam pembelajaran di sekolah sudah berakhir. Semuanya berjalan menuju gerbang utama.

Bel pulang sudah berdering lima menit yang lalu tetapi Sheila masih bekutat di kelas untuk menulis rentetan huruf yang tertera di papan tulis. Sheila merasa salah, ceroboh, kikuk, dan bodoh hari ini. Seharusnya ia menulis materi sejak tadi, jangan menundanya, karena akan berakibat pada dirinya sendiri.

Sepeluh menit waktu berlalu, membuat beberapa siswa yang biasanya masih mengobrol di kelas berhambur keluar, menuju parkiran, menyisakan Sheila sendiri di dalam.

Sheila menghela napasnya kasar, merasa seperti ada sesuatu yang mengganjal di dalam hatinya. Tapi apa?

Gadis yang rambutnya dikucir satu itu akhirnya memasukkan alat tulisnya ke dalam tas, lalu keluar karena merasa ada sesuatu yang dilupanya.

Begitu Sheila sampai di lobby utama, dekat dengan parkiran dan gerbang utama, ia baru teringat dengan seseorang yang menghampirinya di kelas tadi.

Mampus, Kak Daniel nungguin! batin Sheila seraya mengetuk dahinya, Bego, bego, bego, Astaghfirullah, kenapa bisa lupa sih?

Sheila berjalan mendekati Daniel yang sepertinya sudah kepanasan menunggu di depan gerbang dekat dengan pos Pak Satpam. Bahkan, Daniel sempat mengobrol dengan Pak Satpam dari hal sepele, seperti penyebab hilangnya sandal jepit Kepala Sekolah sepulang salat Jum'at, hingga hal penting.

Baru beberapa langkah Sheila melangkah keluar dari lobby, Daniel sudah menyahutinya tanpa menoleh, "Lama amet sih!"

Sheila pun mempercepat langkah dan berdiri di samping motor Daniel. "Tadi nyatat materi du--"

"Lo ngapain aja pas dikasih waktu sama guru untuk nyatat materi? Ngayal? Ngelindur?" potong Daniel lagi. Tidak bisakah ia membiarkan seseorang berbicara hingga selesai tanpa memotongnya? Sheila mulai kesal sekarang.

"Mager."

"Cewek kok gitu," ucap Daniel ketus.

Sheila mengaruk pelipisnya yang tidak gatal. Dimarahi oleh Daniel berasa seperti dimarahi Fardhan atau Fabian, jadi sudah biasa dialaminya."Ya kalau gue lama, kenapa lo nggak pergi aja? Kenapa nggak besok aja kita bicarain? Emang apa sih yang mau dibicarain sampe lo rela-relain nungguin gue? Udah deh--"

PatientlyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang