Setelah hari class meeting berakhir, tibalah hari pembagian rapot hasil belajar siswa dalam satu semester.
Semua berjalan dengan lancar. Sebagian siswa ada yang menunjukkan wajah bahagia mereka dan ada pula yang menunjukkan wajah sedikit kecewanya. Tapi tak apa, nilai sekarang bukan penentu seseorang sukses di masa depan. Bahkan orang yang nilainya rendah pun bisa sukses jika ia memiliki komitmen untuk menggapainya.
Sheila berjalan keluar dari halaman sekolah menuju parkiran. Rapotnya kali ini harus ia perlihatkan dulu ke ayahnya, jadi yang harus dilakukan adalah pergi ke rumah yang sudah jarang dikunjunginya itu.
Nilai Sheila cukup memuaskan semester ini. Ia menjadi peringkat ketiga dari empat puluh siswa di kelas. Rasa bangga terselip di benaknya, tetapi rasa takut juga muncul ketika Sheila membayangkan bisakah ia mempertahankan prestasinya, atau malah turun seperti dulu, ketika dirinya masih menjadi kekasih Ardiaz.
Tak terasa, rupanya Sheila dan Ardiaz sudah tiga bulan putus. Keputusan itu memberikan banyak perubahan. Sheila yang dulu mendapat sebutan no life girl kali ini terlihat lebih hiperaktif, lebih cerewet, lebih beda dari yang dulu.
Motor yang Sheila naiki akhirnya sampai ke halaman sebuah rumah bercat abu-abu. Rumah itu milik ayah dan ibu tirinya. Sheila berjalan menuju pintu dan mulai mengetuknya sambil mengucapkan salam.
"Assalamu'alaikum ayah!"
Pintu pun terbuka dengan perlahan padahal Sheila baru mengetuknya tiga kali. Orang yang membuka pintu tak kunjung menampakkan diri dari balik pintu, membuat Sheila sedikit takut.
"Eh, ini kok bisa kebuka sendiri?" tanya Sheila pada dirinya sendiri sambil mundur satu langkah.
Keluarlah gadis yang tingginya lebih dari Sheila. Wajahnya terlihat bengkak dan matanya sembab, seperti orang yang habis menangis.
Oh, memang habis menangis.
Sheila maju selangkah. Tak sadar ia membuka mulutnya membentuk huruf O ketika melihat kakak tirinya yang selama ini tidak pernah bertemu dengannya. Sheila benar-benar tidak percaya.
"Sheila," sapa gadis bermata sembab itu seraya tersenyum palsu.
Bibir Sheila masih kelu. Yang dapat dilakukannya sekarang hanya menunjuk-nunjuki gadis di depannya sambil tetap membuka mulut. Seketika ia lupa nama gadis di depannya ini.
"Stop bikin diri lo keliatan kayak orang bodoh!"
Oke, itu adalah kalimat yang sedikit kasar namun penuh dengan kebenaran. Sheila pun menutup mulutnya.
"Maaf," ujar Sheila, "Kezia."
Kezia mengangguk kemudian membuka pintu selebar-lebarnya. "Masuk!"
Sheila pun melangkah masuk ke dalam. "Ada ayah?"
"Ada perlu apa ke sini?" Yang ditanya malah berbalik tanya.
Nih kakak tiri emang serem banget, batin Sheila, kok bisa sih gue nggak sadar kalau selama ini kakak tiri satu sekolah sama gue? Tapi kenapa harus Kezia sih? Kenapa nggak yang lain aja?
Sheila duduk di sofa, lalu bertanya tanpa menjawab dulu karena rasa penasaran sudah sangat tinggi, "Kezia, lo ... kakak tiri gue kan?"
Kezia menoleh. "Ya."
"Tapi kenapa kita seangkatan?" pertanyaan itu membuat Kezia mengernyitkan dahinya.
Sheila menepuk dahi, setelah ia ingat dengan Gladis yang pernah cerita bahwa Kezia memang pernah tinggal kelas, sehingga wajarlah jika mereka satu angkatan.
"Gue rasa lo udah tau." Kezia duduk di samping Sheila. "Ada perlu apa ke sini?" ulangnya.
"Anu," Sheila menggaruk tengkuknya, "gue cuma pengin cerita sama ayah aja."
KAMU SEDANG MEMBACA
Patiently
Teen FictionBagaimana jika orang yang kau cintai, tiba-tiba menusukmu dari belakang? Bersikap manis di saat ada maunya, lalu menjatuhkanmu ketika kau masuk dalam perangkapnya. Sakitnya pasti tidak bisa dijelaskan. Seperti Sheila yang menghadapi banyak hal baru...