7. Four Seasons for reasons...

64 2 1
                                    

Kepulauan Anambas memiliki empat musim yang di dasarkan arah mata angin.

Periode Januari - Maret bertiup angin Utara dan Timur laut, curah hujan sedang dengan temperature sedang.
Periode April - Juni bertiup angin Timur Laut/Tenggara, hujan sedikit dengan temperature panas.
Periode Juli - September bertiup angin Tenggara, hujan turun agak banyak dengan temperature cukup panas.
Dan periode Oktober - Desember bertiup Angin Barat/Utara, curah hujan cukup tinggi dengan temperature dingin dan agak lembab pada malam hari.

Bukannya Nindi tidak tahu tentang musim-musim tersebut, tapi ia hanya tidak menyangka bahwa efek sampingnya begitu berat. Kini ia berada di Lebayah saat angin Timur Laut bertiup. Ia pikir itu waktu yang pas untuk berjemur. Ya, memang benar, ia bisa berjemur tanpa takut hujan akan turun tiba-tiba. Tapi, ia juga tidak tahu kalau air hujan ternyata sangat berarti bagi kehidupan manusia sebelumnya. Hingga hari ini. Sebelum keran di kamar mandinya kering, dan air di ember nya hanya tinggal sekali pakai buang air kecil. Dan tidak ada seorang pun yang bisa memberikannya air. Hingga ia harus berjuang sendiri untuk mendapatkan air bersih sampai lima kilo jauhnya, naik turun bukit dan jalanan terjal berbatu. Dan seakan masih kurang lengkap nasib Nindi, ia masih harus menggali batu.

Harusnya dia sudah curiga waktu Adri pulang kerumah dan membawa cangkul dan linggis. Walaupun alasan bocah itu hanya untuk bermain saja.

“Sialan tuh SPAM.” Umpat Nindi sambil menenteng dua jerigen besar ke dalam rumah setelah sebelumnya membanting sepedanya dengan asal ditanah. SPAM adalah singkatan dari Sistem Pengolahan Air Minum yang dikelola PemDa Kabupaten Anambas.

“Buat apa warga bayar mahal-mahal tiap bulan tapi kalau air bersih aja cuma ngalir satu jam sehari.” Nindi masih meracau keki dan kini ia sudah menaruh dua jerigen ukuran lima liter ke dalam kamar mandinya dengan menghempasnya. Semua kekuatannya ia tuangkan disitu.

“Tahu gini gue bawa lima jerigen sekalian deh.” Keluh Nindi mengingat Adri dan kawan-kawan yang dengan penuh suka cita membantunya membawa jerigen-jerigen itu ditengah jalan berbatu. Bahkan mereka masih bisa bernyanyi pula. Indonesia Raya. Mendengarnya Nindi nelangsa, tapi, tungkai-tungkainya yang sudah seperti jelly dan tenaganya yang ibarat handphone low bat menggantikan perasaan itu dalam dirinya.

Kini, saat ia sudah rebahan di kasur empuknya -satu-satunya penghibur di pondok ini- ingatan itu kembali mengaduk-aduk nuraninya. Beginikah nasib anak bangsa mu wahai Indonesia? Seperti inikah kehidupan yang dirasakan rakyat mu yang katanya hidup di negeri subur makmur wahai Indonesia?. Apakah ini yang dimaksud hidup di negari jamrud khatulistiwa?.

PERSETAN. Nindi melempar bantal yang sedang di peluknya ke sembarang arah. Kakinya menghentak-hentak tak jelas. Berguling ke kiri dan kanan, ia masih tetap saja melihat wajah-wajah polos yang dengan riang bercanda sepanjang jalan, berteriak HOREE saat penggalian Nindi berhasil dan air hampir muncrat ke wajahnya, bergotong royong membawakan jerigen air dengan senyum sukarela, dan mereka melakukan semua itu tanpa satupun diantara mereka yang memikirkan seperti apa nasib mereka di masa depan.

“Aaarggggh.” Nindi menjerit frustasi. Salah satu kebiasaannya yang tidak bisa hilang walaupun sebentar lagi dia akan berusia dua puluh tujuh tahun. Tidak mau terlalu lama memikirkan nasib orang lain, ia harus mengutamakan nasibnya sendiri dulu.

Dengan keenganan tingkat tinggi Nindi menyeret langkah nya ke dapur. Perutnya dari pagi hanya di ganjal dengan setangkup roti, dan kini cacing-cacing di perutnya sudah minta jatah lagi. Nindi terbelalak melihat isi lemarinya yang hampir kosong. Laci-laci lemari dapurnya juga tak bersisa makanan sama sekali. Tenaga habis, makanan pun habis. Lengkap sudah penderitaan Nindi. Ia terkulai lemas di meja dapur. Mau ke pasar pasti sudah tutup sesore ini, lagipula ia tidak yakin apa masih punya kekuatan untuk menenteng kantong belanja. Tapi ia harus bertahan hidup, ia tidak mungkin mati konyol gara-gara kelaparan di pulau ini. Pilihannya hanya warung nasi di dekat pantai yang selama hampir seminggu di Lebayah belum pernah sekalipun ia sambangi. Mengambil dompet Louise Vuitton dan I-phone nya, Nindi mengayuh sepeda dengan sisa-sisa tenaga nya.

Love Will Find a WayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang