“APA? LOE MAU JADI GURU DI SITU?.” Suara cempreng khas Adisty menerobos ke gendang telinga Nindi melalui handphone pintar nya yang baru di hidupkannya setelah istirahat seminggu penuh.
“Biasa aja dong Dis, kan emang gue guru. Dimana pun gue berada ya gue tetap seorang guru.” Jawab Nindi santai.
“Iya tapi ini Lebayah gitu loh. Pulau yang gue yakin gak ada di Atlas, bahkan nggak bisa di search di google map. Ya kan.” Cerocos Adis masih dengan suara sopran nya.
“So what? What’s wrong with that?.” Sahut Nindi tak perduli. Tekadnya sudah bulat maksimal untuk menjadi guru bagi Tina CS dan semua anak-anak kampung Lebayah yang membutuhkan jasanya sebagai guru. Bahkan ia rela bila tidak di beri upah sekalipun. Teriakan Adis tidak akan mengubah pendiriannya, bergeser pun tidak.
Ini sebagai salah satu jalan penebus dosa-dosa yang gue lakukan selama ini.
“Seminggu ngilang nggak ada kabar sekalinya nelpon loe cuma ngasih tahu bahwa loe nggak akan ketemu gue lagi. Sahabat macam apa loe.” Suara Adis mulai terdengar melemah. Sebentar lagi pasti ada banjir air mata di ujung sana. Nindi segera bertindak.
“Tenang Dis, sejauh apapun kita, kita tetap sahabat. Nggak akan ada yang bisa merubah itu. Lagipula, siapa bilang loe nggak bisa ketemu gue lagi? Kan loe masih bisa kesini, kunjungin gue sekalian berlibur di Lebayah. Disini panorama alam dan laut nya bener-bener masih asri Dis, loe pasti bakalan ngerasa betah disini.” Ujar Nindi.“Kalau disitu ada mall lima biji, baru gue betah.” Cetus Adis sambil terisak. Nindi tergelak mendengarnya.
“Awalnya gue juga berfikir gitu. Gue nggak mungkin bisa jauh dari kehidupan kota, tapi, ternyata seminggu di pulau ini, gue melalui banyak hal hebat yang gue pikir nggak akan bisa gue lakukan sebelumnya.”
“Apa? Diving bareng bule keren?.” Sambar Adis. Nindi menghela nafas malas.
“Huuh, udah lah kapan-kapan aja gue ceritanya. Gue nelpon loe mau minta tolong kirimin gue kertas kanvas sebanyak-banyaknya plus cat dan kuas. Dan juga coklat. Oh ya, sekalian cemilan, kalau perlu satu dus. Uangnya sebentar lagi gue transfer ke rekening loe. Alamatnya gue kirim lewat sms ya. Dan tolong jaga Livi buat gue, awas kalau sampe lecet, gue tuntut loe.” Ancam Nindi setengah serius, rasa kangen kepada mobil kesayangannya itu tiba-tiba memenuhi seluruh rongga dadanya. Termasuk semua barang-barang branded nya, dan juga semua kemudahan dan fasilitas sebagai orang kota.
Ah, tapi ia tidak boleh berubah pikiran hanya karena hal sepele macam itu, keputusannya sangat mulia. Ia harus bertahan pada prinsipnya.
“Untuk seorang calon pengangguran, loe nggak perlu transfer apapun ke rekening gue, dan untuk Livi, gue pastikan dia berada di tangan yang tepat, sampai pemiliknya kembali. Gue yakin loe bakalan kembali kesini Nin, gue punya firasat itu. Jadi have fun disana dan nggak usah terlalu memikirkan banyak hal. Ingat, loe kesana kan niatnya liburan, jadi jangan lupakan itu, ok.” Tukas Adis penuh pengertian.
Ada sesuatu yang berat menggelayut di pelupuk matanya, tapi melihat di sekitarnya banyak orang, mengingat ia sekarang sedang berada di pasar pagi Tarempa, ia menahan sebisanya.
“Udah, jangan mellow gitu, bikin gue ikutan mellow nih. Pokoknya gue hepi disini, loe nggak usah khawatir. Dan kalau gue beruntung gue bakalan ketemu jodoh disini, we’ll see. Take care Adis sayang. Besok-besok gue telpon lagi kalau ada sinyal. Sekarang gue mau beli tivi, seminggu gue buta sama dunia luar. Sekarang gue mau melek berita lagi. Salam ya buat semuanya.”
“Iya, loe juga dapat salam dari Wati tuh.” “Oh ya, salam balik. Bilang aja, minggu depan gue bakalan kirim surat resign ke sekolah. Take care Adis. Bye.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Will Find a Way
Ficción GeneralEvan mengamit jemari Nindi dan membawa ke dadanya. "Nin... Aku tahu aku salah udah berbohong sama kamu. Please, maafin aku Nin... aku cuma nggak ingin membuat kamu khawatir." Terlambat. Nindi menarik jemarinya dari genggaman Evan. "Van... Aku pal...