11. Bahaya itu... Ya, kamu

71 3 2
                                    

Sudah tiga hari ini, Nindi selalu menyempatkan diri setiap pulang mengajar kelas pagi dan kelas sore untuk menjenguk Tedja. Perlahan Tedja sudah mulai kembali semangat untuk belajar. Keinginannya untuk jadi insyinyur masih terpatri kuat di relung hati nya. Dan ajaran Nindi untuk mulai menulis dengan tangan kanan, di praktekkan Tedja sepenuh hati.

Hanya satu yang masih dirahasiakan Nindi dari Tedja, yaitu keberadaan bapak nya. Lusa Abdul Soleh akan dibawa ke markas polisi di Tarempa, dia akan diperiksa di sana. Nindi hanya berharap semoga ada keajaiban yang bisa menyelamatkan nasib bapak tua itu.

“Iya, begini lebih bagus, tulisan kamu hari ini sudah mulai kelihatan lebih bagus dibanding kemarin. Pasti semalaman kamu begadang untuk latihan menulis dengan tangan kanan ya?.”

“Bu guru tahu saja.” Tedja tersenyum kecil. Nindi mengacak-acak rambut Tedja penuh kasih. Dari luar kamar rawat, Malvin menyaksikan adegan itu dengan mata penuh kekaguman. Belum pernah dilihatnya seorang guru yang memiliki kasih dan perhatian begitu tulus kepada murid-muridnya seperti Nindi. Perlahan sebuah rasa mulai menyelinap ke dalam hatinya.

“Halo pak dokter?.” Sapa Nindi saat menyadari Malvin hanya berdiri di pintu. Malvin tersenyum lebar dan masuk ke dalam kamar pasiennya untuk melakukan tugasnya. Tanpa di dampingi perawat Malvin mengecek keadaan Tedja dan setelah memberikan instruksi kecil tentang anjuran minum obat dan beberapa hal tentang do’s and don’t kepada Tedja untuk sekian kalinya, Malvin pamit undur diri.

“Tedja, kamu baik-baik ya disini. Nanti sore ibu kesini lagi. Sekarang ibu harus mengajar adik-adik kelas kamu.”

“Iya bu.” Tedja menyunggingkan senyum. Tapi tiba-tiba wajahnya kembali sendu. Aah, pasti akan bertanya tentang bapak nya lagi nih. Pikir Nindi.

“Bapak, kapan datang kesini bu?.” Tuh kan benar dugaan ku.

“Mudah-mudahan lusa bapak mu bisa kesini. Saat ini bapak mu masih di rawat jalan, jadi harus banyak istirahat dirumah.” Kilah Nindi dengan alasan yang sama tiap kali Tedja menanyakan tentang bapak nya. Untungnya Tedja percaya saja dengan ucapannya. Paling tidak, anak itu tidak perlu memikirkan apapun diluar kesehatannya saat ini. Dan pendidikannya. Itu saja.

“Mau langsung ke sekolah Nin?.” Tegur Malvin saat dilihatnya Nindi berjalan cepat dikoridor.

“Eh, iya, Vin. Aku harus kembali mengajar. Aku nggak mau telat.” Sahut Nindi yang kini sudah mulai terbiasa menggunakan sapaan aku-kamu dengan dokter muda itu. Mungkin karena intensitas pertemuan mereka yang semakin sering beberapa hari ini, membuat keduanya menjadi lebih akrab, dan di sela-sela percakapan mereka kemarin siang, Malvin meminta secara pribadi kepada Nindi untuk memanggilnya dengan nama nya saja tanpa perlu menyebutkan jabatan Dokter-nya. Nindi pun setuju, dengan syarat Malvin pun melakukan hal yang sama. Dan kini, mereka secara otomatis dekat satu sama lain seperti teman. Yeah, paling tidak itu yang dirasakan oleh Nindi. Ia bangga memiliki teman seorang dokter muda yang cukup tampan dan kharismatik seperti Malvin. Jarang-jarang ada pemandangan keren di pulau terpencil ini selain laut dan gunung.

“Aku antar ya, biar kamu nggak telat. Nanti sepeda kamu biar di bawa sama Muchdi, sekalian dia pulang, kan rumahnya memang persis di belakang sekolah.” Tawaran Malvin tentu saja disambut baik oleh Nindi yang langsung mengangguk meng-iyakan. Motor Honda Malvin akhirnya sudah dua kali menyelamatkan Nindi dari lecutan waktu.

Nindi sampai di sekolah jam satu pas. Setelah melambai singkat Nindi berjalan menuju kelasnya. Yang disangkanya murid-muridnya sudah menunggu dengan rapi di dalamnya, ternyata kelas sepi. Hanya ada beberapa orang anak perempuan di dalamnya. Termasuk Tina dan Nia.

“Loh, pada kemana anak laki-laki yang lain?.” Tanya Nindi keheranan.

“Ada di belakang bu.” Jawab Tina.

Love Will Find a WayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang