“Jadi siapa yang memasang pukat di lepas pantai? Nelayan lokal atau nelayan asing?.”
“Kali ini lokal pak.” Evan menggaruk dagu nya yang mulai ditumbuhi jenggot halus, jawaban Rudi membuatnya berpikir dua kali.
Bila nelayan asing, itu sudah pasti mutlak tugas TNI AL dan SatPolair untuk menindaklanjuti, tapi bila nelayan lokal, dan berasal dari Anambas, dia juga berhak untuk ikut menangani kasus ini meskipun tanpa perintah resmi.
Di kepulauan Anambas, memang masalah ini tidak terjadi hanya sekali dua saja, tapi sudah sering masalah yang sama marak terjadi. Meskipun beberapa pelaku sudah di tangkap dan diganjar hukuman. Tapi tetap saja pelaku-pelaku lain muncul. Disaat seperti ini, Evan mengutuk pepatah yang mengatakan ‘Mati satu tumbuh seribu’. Pepatah itu sering dijadikan motivasi, tapi seringnya untuk melakukan hal yang negatif. Mengenaskan memang.
“Berikan saya datanya, saya sendiri yang akan ‘turun’.” Ujar Evan memberi perintah. Rudi mengangguk mantab dan dengan sigap segera mengetik sesuatu di laptop nya dan beberapa detik kemudian, printer XP di meja sebelahnya sudah mengeluarkan kertas A4 yang berisi informasi yang diminta atasannya tersebut.
Evan mengambil kertas itu dan membacanya seksama, sejurus kemudian dia mengambil rompi dan memakai topi nya.
“Saya akan ke TKP. Hubungi saya lewat walkie talkie kalau ada perkembangan lainnya”
“Siap pak.”
**
“Ayo ikut saya.”
“Tapi saya tidak bersalah pak, saya tidaksengaja melakukannya.”
“Bapak bisa jelaskan nanti di kantor.” Evan menyaksikan adegan itu dengan mata menyipit. Melihat anak buah sekaligus temannya, Aldi, mengunci kedua tangan bapak tua di belakang punggungnya, membuatnya perlu memberikan ‘sapaan’ kecil untuk rekannya tersebut.
“Ada apa ini?.”
“Ah Mayor, anda terlambat.”
“Siapa ini?.”
“Ini orang yang melakukan pengeboman ikan, tapi malang nasib bapak ini, bom nya meledak saat sedang dirakit.” Evan berdecak kecil sebelum berbisik di telinga Aldi.
“Tapi loe nggak perlu pake miting-miting tangannya segala. Bapak ini bahkan nggak akan kuat lari sepuluh meter pun.” Aldi mengedikan bahu lalu melepaskan kuncian tangannya dari tangan bapak tua itu. Evan mengangguk lega melihatnya.
“Dari ledakan itu apa ada korban?.”
“Ada?.”
“Siapa?.”
“Anak bapak ini.”
**
Seharian kemarin kerja Nindi hanya malas-malasan di dalam istana kecilnya. Hanya selonjoran sambil mendengarkan mp3 dari Ipod-nya yang musiknya perlu di update lagi. Nindi benar-benar menuruti perkataan Evan untuk menikmati waktu liburnya di pondok saja, karena tubuhnya sedang membutuhkan istirahat yang banyak.
Hanya satu kali Evan mencoba menemui Nindi, namun Nindi sengaja tidak membukakan pintu, ia pura-pura sudah tidur, sampai akhirnya gedoran di pintunya mereda sendiri dan saat diintip, ternyata sebuah baki berisi makanan terletak di depan pintu rumahnya. Salah sendiri datang malam-malam. Gerutu Nindi tapi diam-diam ia membuka pintu dan menarik baki itu secara perlahan.
Evan seperti tahu saja kalau Nindi belum makan malam. Tapi pria itu pasti sibuk dengan urusannya, hingga tidak sempat menjenguknya.
“Menjenguk?.” Nindi menghalau pikirannya yang mulai melantur. Ia merasa Evan tidak punya kewajiban apapun untuk datang menjenguknya, lagipula ia cuma luka kecil, bukan suatu hal yang perlu di khawatirkan. Masalah mengganti perban pun sudah bisa diatasinya dengan baik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Love Will Find a Way
General FictionEvan mengamit jemari Nindi dan membawa ke dadanya. "Nin... Aku tahu aku salah udah berbohong sama kamu. Please, maafin aku Nin... aku cuma nggak ingin membuat kamu khawatir." Terlambat. Nindi menarik jemarinya dari genggaman Evan. "Van... Aku pal...