2. Shall I stay? Would it be a sin? If I can't help falling in love with you

112 8 4
                                    

Dua lilin berpendar di tengah vas bunga cantik, menjadi sumber cahaya di ruangan seluas 3x3 meter itu. Wangi floral yang keluar dari pengharum udara sangat menenangkan. Musik yang diputar pun mengalun lembut, dan hidangan yang disuguhkan pun sangat menggugah selera, penyajian yang sangat apik dari koki profesional pastinya.

Ini makan malam yang diimpikan Nindi, sangat romantis dan dengan pria paling tampan yang pernah di lihatnya, makan malam ini sempurna. Nindi tahu, tidak perlu waktu lama lagi bagi Evan untuk bisa merebut hati nya. Saat ini dirinya sudah sepenuhnya dikuasai pria berdada bidang itu. Namun harga diri yang tinggi membuat Nindi sangat hati-hati sekali dalam mengambil satu tindakan sekecil apapun. Nindi adalah wanita yang sangat cermat.

“Kamu suka makanannya?.” Tanya Evan membuyarkan pemikiran Nindi tentangnya. Nindi mengangguk kecil dan tersenyum.

“Suka banget. Sesuai dengan selera ku, steak ini, dagingnya sangat lembut, dan keju nya juga pasti kualitas nomor satu. Tortellini nya juga pas banget rasanya di lidah ku. Kamu memang pintar pilih restoran.” Evan tersenyum bangga. Tidak salah dia membuang banyak pulsa untuk menelpon kakaknya yang sedang berada di Itali hanya untuk minta rekomendasi mengenai restoran terbaik di Jakarta, tentunya yang sekaligus bisa menciptakan nuansa romantis. And he got it.

“Kebetulan aku dapat rekomen dari orang terpercaya.” Kata Evan sambil mengerling jenaka.

“Aku pikir kamu memang biasa mengajak perempuan datang ke tempat-tempat kayak gini.” Ujar Nindi sambil memotong steak nya.

“Nggak lah, aku jarang ada waktu untuk makan diluar. Aku lebih suka masak.”

“Oh ya? Serius kamu? Kamu bisa masak? Waaah... Aku kayaknya dapat saingan nih. Kapan-kapan aku harus membuktikan ucapan kamu itu.” Evan tergelak. “Kamu memang orang yang perlu bukti ya. Apa kamu nggak bisa langsung percaya sama orang tanpa harus ada bukti konkret?.”

“Nggak bisa.” Jawab Nindi cepat.

“Emangnya kamu bisa?.”

“Bisa.” Sahut Evan lebih cepat.

“Oh ya? Siapa orang yang bisa kamu percaya hanya dengan melihatnya?.” Tanya Nindi penasaran.

“Kamu.” Ujar Evan mantab. Pipi Nindi bersemu. Mendengar jawaban Evan, Nindi hanya mengulum senyum dan berusaha fokus memotong-motong steak di piringnya. Ya Tuhan, aku kan bukan abege lagi, kenapa Evan bisa bikin aku deg-degan dengan rayuan gombal nya itu?. Kriiing. Bunyi telpon Evan memecahkan suasana canggung diantara mereka. Evan minta izin menerima telpon di luar karena tidak ingin mengganggu Nindi. Walaupun mengangguk, tapi sebersit curiga muncul di hati Nindi.

Telpon dari siapa sih sampai harus terburu-buru diangkat begitu? Dan kenapa dia nggak nelpon di depan aku aja?. Apa mungkin... Pemkikiran Nindi terputus, orang yang sedang dipikirkannya berdiri di depannya dengan raut wajah penuh penyesalan.

“Maaf Nin, aku harus pergi sekarang. Ada urusan mendadak. Apa kamu mau nerusin makan malam nya atau mau aku antar pulang?.” Nindi memandang Evan dengan perasaan bingung? Kecewa? Marah? Ingin membentaknya? Atau mungkin menjerit kesal?. Tidak. Nindi tidak mungkin melakukannya dengan pria yang baru dua kali ditemui nya. Bahkan ini hanya makan malam biasa, bukan kencan mereka. Not officially.

“Apa urusan nya sangat penting?.”

“Ya...”

“Kalau begitu, kamu duluan aja, aku mungkin akan disini sebentar. Steak ku masih setengah.” Ujar Nindi berusaha menampilkan wajah datar. Evan tahu ada kekecewaan yang tersamar di balik mata bening Nindi, tapi dia tidak bisa berbuat apa-apa untuk saat ini. Perintah dari atasannya di telpon tadi adalah ultimatum yang tidak bisa ditawar.

Love Will Find a WayTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang