Awal Kebencianku
---
Persahabatanku dengan Lino awalnya terasa canggung, namun lama kelamaan kami mulai bisa menikmatinya. Seperti sekarang, aku sedang ditemani Lino untuk menunggu jadwal lesku sambil memakan es krim dan kentang goreng.
"Makan tuh jangan belepotan," ujar Lino sambil membersihkan serpihan garam yang menempel di sekitar bibirku. "Gimana mau punya pacar coba."
"Ngaruh emang?"
"Ngaruh."
"Kok ngaruh?"
"Soalnya kalau kamu makannya belepotan, kamu lucu. Kalau kamu lucu, saya jadi pengen balikan. Nanti kasian kamu ngga punya pacar baru kalau saya halang-halangin terus," ujarnya dengan wajah serius. Baru saja aku akan menanggapinya, namun Lino melanjutkan ucapannya, "Bercanda deng! Kalau makannya belepotan ya mana ada yang mau sama kamu. Wlee," katanya lalu menjulurkan lidah. Satu potong kentang goreng mendarat mulus pada hidung Lino setelah aku melemparnya karena kesal.
"Ya Allah galak bener," ucapnya lalu mengambil kentang tadi yang jatuh di atas pahanya.
Sudah sekitar sebulan ini Lino selalu menyinggung tentang balikan, tentang hubungan kami di masa lalu, ia sering sekali membuat aku tersipu malu. Tapi di balik itu semua, Lino mulai dekat dengan beberapa perempuan lain. Contohnya dengan Efri, teman seangkatanku. Aku beberapa kali melihat Lino mengantar Efri pulang. Kadang aku juga melihat pemberitahuan chat masuk dari Efri ketika ponsel Lino tergeletak di hadapanku.
Sering pula aku dengar Efri memang menyukai Lino, tapi setelah aku tanyakan pada laki-laki itu, katanya ia dan Efri hanya teman. Tidak lebih. Lalu setelah itu muncul rumor kalau Lino pindah ke lain perempuan yang bersekolah di sekolah yang berbeda dengan kami, namanya Nabila. Aku tahu itu karena beberapa kali Lino menyebut nama Nabila saat kami chatting, misalnya dia bilang padaku dia baru pulang sehabis menjemput Nabila atau kadang Nabila muncul di InstaStory milik Lino.
"Kamu masih deket sama Nabila?"
"Engga."
"Loh kok engga?"
"Dia ga asik, lagian emang cuma mau temenan."
"Dih apaan katanya mau serius."
"Iya saya serius mau temenan sama dia."
Sebenarnya ada rasa senang saat Lino selalu tidak meneruskan hubungannya dengan perempuan lain, karena setiap ia menceritakan perempuan-perempuan itu, ada bagian dalam diriku yang hancur mendengarnya. Tapi yang bisa aku lakukan hanya mendengarkan Lino dan menjadi sahabat terbaik untuk Lino.
"Saya antar ke tempat les kamu ya? Nanti saya jemput juga. Sekalian mau ke rumah kamu, boleh?"
"Ngapain?"
"Ya kangen aja, ga boleh saya ke rumah mantan saya sendiri? Apa harus jadi pacar lagi biar boleh?"
"Apa sih, ya udah boleh," ucapku lalu menghabiskan beberapa potong kentang hingga habis. Setelah itu Lino mengantarku ke tempat les dan sesuai janjinya, ia menjemputku saat pulang. Aku membukakan gerbang rumahku saat kami sudah sampai di depan rumah, Lino memarkirkan motornya di pekarangan kemudian melepas helm dan menanyakan keberadaan orangtuaku.
"Langsung duduk aja, ibu kayaknya lagi serius nonton tv, ayah belum pulang," jawabku kemudian masuk ke dalam rumah dan membiarkan Lino duduk di kursi yang berada di teras rumahku. Aku kembali ke luar untuk memberikan secangkir teh hangat untuk Lino.
"Terimakasih Aprila Firdausya." Lino menyesap secangkir teh itu perlahan. "Enak, manis, kayak saya."
"Apaan manis, ngeselin gitu."
"Tapi kan kamu suka sama saya," katanya dengan nada bangga.
"Pernah," koreksiku. Padahal memang sampai sekarang aku masih menyukainya.
"Masa sih? Ga percaya saya," ucapnya sambil mengeluarkan ponsel dan memainkan game. "Pril, saya mau tanya."
"Tanya aja."
"Tapi kamu jangan marah sama saya," katanya dengan mata yang masih terfokus pada layar ponsel.
"Apaan dulu?"
"Kalau kamu mati besok, kamu mau minta apa ke saya? Ya kayak permintaan terakhir gitu."
"Ih pertanyaan macam apa, serem ah No," ucapku sambil menyeritkan alis.
"Eh serius... Jawab aja dulu."
"Aku... Aku pengen kamu ga dipandang playboy lagi. Aku pengennya kalau kamu deket sama cewek, jangan dimainin. Jadian sekalian."
Lino melirikku kemudian fokus kembali pada game yang sedang ia mainkan. Entah game apa itu aku tidak peduli, namun sesekali ia meringis seperti mengalami kekalahan.
"Kamu kebiasaan No, main game mulu, katanya pengen ngobrol tapi akhirnya main hp," ucapku sambil mengalihkan pandangan ke arah langit.
"Bentar, bentar, tanggung. Dikit lagi saya menang."
Kalimat yang paling aku benci jika kalimat itu keluar dari mulut Lino.
"Atazma."
"Hm?" gumamnya sambil mengangkat dagu.
"Kalau kamu yang mati besok, kamu mau minta apa sama aku?"
"Saya..." Lino terlihat berpikir sejenak, kemudian ia mengakhiri permainannya lalu menatap lurus ke arah kedua mataku. "Saya pengen kamu cari cowok baru, saya ga mau kamu galauin saya lagi. Saya ga pantes kamu galauin."
Aku merasa beberapa bagian hatiku retak bahkan runtuh. Lino mengucapkan kalimat itu dengan tenang, tanpa ada rasa bersalah sama sekali padahal sikapnya yang membuatku bertahan untuk terus menunggu dan menyayanginya.
"Pede banget aku galauin kamu yeee... Males," ucapku setelah berdiam agak lama.
"Udah malem Pril, aku pulang ya?" Lino bangkit dari kursi, aku ikut bangkit dan berusaha menyembunyikan keinginanku untuk menangis.
"Tumben pake aku?"
Setelah aku mengucapkan kalimat itu, Lino mengusap puncak kepalaku sambil tersenyum. Entah mengapa aku melihat matanya berbinar. Tampan sekali. Ia menarikku ke dalam dekapannya, cukup lama aku membenamkan wajahku pada dadanya yang bidang hingga aku bisa mencium aroma parfum rasa cokelat yang sejak dulu selalu aku sukai. Tangan kanan Lino mengusap-ngusap rambutku, ketika aku akan membalas pelukannya, tiba-tiba ia mendorong pelan tubuhku kemudian pergi begitu saja tanpa mengucapkan apapun dan meninggalkan aku sendiri dalam diam.
Bersambung
----
Kesamaan nama dan tempat memang disengaja dan sudah diberi izin oleh pihak-pihak yang tercantum. Tidak diizinkan untuk menyalin seluruh atau sebagian dari isi cerpen. Terimakasih untuk Atazma Lino dan Aprilia Firdausya yang sudah menjadi inspirasi utama saya.
Minggu, 21 Januari 2018
17:01
Pada saat saya bingung menentukan Lino harusnya minum teh atau susu

KAMU SEDANG MEMBACA
LiNo (Lima November)
Short Story"Tidak seperti orang-orang yang menyukai bulan Desember, aku lebih menyukai bulan November. Karena di bulan itu, dia hadir. Hadir di alam semesta, hadir juga di duniaku." -Aprilia Firdausya- LiN...