Roti Bakar Cokelat Keju Susu dari Zayan
---
NADI
---
Letak kampusku yang tidak terlalu jauh dari Bogor, dan hanya menempuh waktu sekitar dua jam perjalanan menggunakan bis, membuat aku sering pulang di akhir minggu. Sebenarnya, aku berencana untuk tidak pulang minggu ini karena ada beberapa kepentingan. Namun, mendengar Lino membutuhkanku, mau tidak mau, suka tidak suka, aku harus pulang.
Aku memasukkan beberapa keperluanku ke dalam tas, kemudian pergi menuju terminal dan menaiki bis tujuan Bogor. Di dalam perjalanan aku menahan diriku untuk terus menanyakan kabar Lino setiap lima menit sekali. Karena setelah aku menjawab pesan dari ibuku, belum ada balasan yang masuk. Pasti ibu sedang sibuk atau sedang menangis karena melihat adikku.
Ponselku bergetar, dengan terburu aku langsung membaca pesan yang masuk.
Ternyata dari Zayan.
Zayan Zuhdi: Nad, jepitan lo gue anter nanti sore ya? Hehehe.
Karena sudah terlanjur membacanya, dengan malas aku membalas pesan itu.
Atazra Nadi WN: Ga usah Zay.
Atazra Nadi WN: Gue jalan pulang ke Bogor.Hanya beberapa detik berselang setelah aku membalas pesan tadi, balasan dari Zayan langsung masuk ke ponselku. Kini, aku hanya membacanya lewat kolom notifikasi.
Zayan Zuhdi: Ohh.. Ini jadwal lo pulang ya? Ya udah hati-hati ya Nad.
Aku memilih untuk tidak membaca apalagi membalas pesan Zayan. Karena yang aku pikirkan sekarang hanya adikku. Kesehatan adikku kian menurun, dia terkena penyakit yang bahkan tidak pernah aku bayangkan akan menerpaku atau salah satu anggota keluargaku.
Setelah turun dari bis dan menaiki angkot untuk sampai di rumahku, akhirnya aku bisa melihat Lino yang sedang terbaring lemah di atas ranjangnya. Bibirnya membiru, kulit kuning langsatnya juga berubah menjadi putih pucat. Aku memegangi tangannya kemudian menaruhnya pada pipiku. Perlahan Lino membuka mata kemudian tersenyum memperlihatkan gigi dan lengsung pipitnya.
"Kak Nadi..." ucapnya lirih. Aku tersenyum dan berusaha sekuat tenaga menahan tangisku.
"Iya No..."
"Lino nggak boleh capek ya Kak?" tanyanya yang diakhiri senyum getir.
"Lino harus kuat." Aku mengusap rambutnya. "Udah mau delapan belas tahun harus makin kuat dong."
"Kak, Lino pengin sembuh," ucapnya dengan raut wajah yang tak bisa aku tebak, antara sedih, lelah dan mencoba menahan rasa sakit.
"Lino pasti sembuh, aku yakin Lino bisa."
Setelah setengah jam aku bercengkrama dengan Lino, aku membiarkannya beristirahat. Aku melihat pintu kamar ibuku tertutup rapat yang menandakan bahwa ibuku sedang perlu waktu untuk menyendiri. Aku menghela napas, bukan hanya Lino yang rapuh di sini, namun, hati Ibu lebih rapuh lagi. Aku dan ayahku sedang berusaha keras untuk tetap menyemangati Lino dan Ibu, walau aku juga tahu Ayah sering melamun dan memikirkan Lino.
Aku membuka pintu kamarku, lalu menaruh tas di atas meja belajar, tak lupa aku mengeluarkan ponselku dari sana kemudian merebahkan tubuh di atas kasur sambil membuka pesan yang masuk.
KAMU SEDANG MEMBACA
LiNo (Lima November)
Historia Corta"Tidak seperti orang-orang yang menyukai bulan Desember, aku lebih menyukai bulan November. Karena di bulan itu, dia hadir. Hadir di alam semesta, hadir juga di duniaku." -Aprilia Firdausya- LiN...