Nada untuk Nadi (3)

190 26 0
                                    

Menahan Tanganku Adalah Hobi Baru Zayan

--

NADI

--

Jantungku berdebar dua kali lebih cepat dari pada biasanya dan kalian tidak akan pernah tahu betapa besar keinginanku untuk berteriak saat ini juga. Zayan, akan berkunjung ke rumahku. Iya, aku ulangi. Zayan, akan berkunjung ke rumahku!

Ponselku masih menempel pada telinga, tubuhku juga masih berbaring di tempat tidur. Tapi pikiranku? Berkelana ke sana ke mari saat mendengar suara Zayan dari seberang sana.

"Ya udah habis isya aku ke sana ya Nad, Zul sama Salsa betah soalnya di sini."

"Iya, hati-hati ya."

"Iya, kan belum jalan akunya."

"Aku ya Zay! Aku!" itu suara Zul.

"Biarin dong, ngga apa-apa kan ya Nad?"

Aku ingin berteriak, "Ngga apa-apa!" tapi yang keluar dari mulutku hanya tertawa.

"Udah ya Zay, nanti kabarin kalau udah di depan rumah sakit." Tenang, tidak ada yang sakit selain adikku di sini, namun rumah sakit yang ku maksud adalah patokan utama untuk mengetahui gang rumahku.

"Iya, kamu jangan lupa..."

"Lupa apa?"

"Lupa aku hahahaha. Receh ya? Dadah Nadi."

Aku memutar bola mataku lagi. Iya, dia sereceh itu. Maafkan Zayan ya.

"Iya, dadah Zayan."

Aku menaruh ponsel di atas bantal kemudian keluar dari kamarku sambil tersenyum.

"Senyum-senyum mulu nih anak Ayah."

Mendengar suara ayahku, aku langsung menghamburkan diri dalam pelukannya. Rindu, aku rindu ayah dan aku senang, sehabis ditelepon Zayan. Hehehe.

"Ayah kok tumben sebelum maghrib udah di rumah?"

"Ayah harus pergi lagi Kak, Ayah harus ke Jogja sekarang."

"Ah, aku kan masih kangen," ucapku setengah merengek.

"Tapi kan tugas Nak, ngga apa-apa ya? Ayah harus siap-siap dulu, kamu jangan lupa shalat." Ayah melepaskan kedua tangannya yang melingkar di atas bahuku. Aku tidak bisa menyalahkan ayah dengan keadaan ini, ya mau bagaimana lagi?

"Eh, Ayah?" panggilku.

Ayah kembali membalikan tubuhnya kemudian berkata, "Apa Kak?"

"Temen kampus aku mau ke sini, boleh?"

"Kapan?"

"Habis isya."

"Boleh dong. Ada perempuannya kan?"

Aku mengangguk.

"Suruh nginep aja Kak, biar Kakak ada temennya. Nanti Ayah yang bilang ke Ibu," ucapnya seperti mengerti apa yang ada dalam pikiranku. Aku langsung mengecup pipi Ayah dan mengucapkan terima kasih. Setelah itu, Ayah menghampiri Ibu yang sedang mencatat sesuatu pada jurnalnya sambil sesekali melirik ke arah televisi yang menyala.

Aku melihat Ayah dan Ibu mengobrol serius, Ibu memeluk Ayah dan mengusap punggungnya berkali-kali. Sepertinya Ayah hari ini kelelahan, aku bisa melihatnya dari sorot mata Ayah saat ia menatap Ibu. Tatapan yang tak pernah ia perlihatkan kepada aku ataupun Lino.

LiNo (Lima November)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang