McFlurry, Senja dan Secangkir Kopi (1)

505 55 9
                                    

Berdamai dengan Masa Lalu

---

Athaya

---

Aku bertegur sapa dengan Lino dan April yang baru saja keluar dari McDonald's sambil tertawa dan bercanda. Iri, itu kata yang tepat untuk mendeskripsikan perasaanku saat melihat betapa akurnya hubungan mereka yang berstatus mantan pacar.

Tak mau membuang waktu untuk memikirkan Lino dan April, aku membenarkan letak headset yang terpasang pada telinga sambil mendorong pintu kaca McDonald's menggunakan lengan, karena kedua tanganku sibuk, satu membenarkan headset, satunya lagi memegang se-cup McFlurry rasa Milo.

Awalnya aku ingin menghabiskan es krim ini di area luar, namun ternyata, meja yang biasa 'dia' tempati akhirnya ditinggalkan oleh pelanggan yang kuperkirakan usianya sama denganku, 18 tahun. Dengan cepat aku menghampiri meja itu dan menaruh McFlurry Milo di sana. Aku memandang lurus ke arah kursi yang biasanya diisi oleh 'dia'.

Namanya Adrian, umurnya 17 tahun, ya, dia lebih muda dariku beberapa bulan. Dia berstatus mantan pacarku sejak sebulan yang lalu. Tidak seperti Lino dan April yang sangat akur, aku dan Adrian hampir seperti tidak saling mengenal setelah kami putus. Mungkin memang beberapa kali aku dan dia bertukar senyum atau saling menyapa, tapi rasanya berbeda. Senyum dan sapaan itu terlihat dipaksakan. Dan fakta terburuknya adalah, aku masih menyayanginya.

Datang ke tempat ini cukup membuka kenangan lamaku bersama Adrian. Sakit. Itu yang aku rasakan. Tapi jangan pernah bayangkan aku datang ke tempat ini dalam keadaan kacau, aku cukup tenang dan berpakaian layak dengan rambut yang tertata. Bukan dengan kantung mata, pakaian longgar dan juga rambut yang terlihat kusam.

Aku mengaduk McFlurry itu perlahan kemudian menyuapkannya sedikit ke dalam mulut. Aku menghembuskan napas sambil membuang pandanganku. Rasanya aneh. Aneh karena aku melahap McFlurry kesukaan Adrian tanpa paksaan darinya. Karena aku, tidak menyukai McFlurry Milo. Sama sekali.

Ini hari keduaku bernostalgia bersama masa lalu. Kemarin, aku duduk memandang langit senja yang entah mengapa menurutku tak secantik yang orang-orang bilang. Atau, setidaknya yang selalu Adrian banggakan di depanku. Ia adalah penikmat senja yang kronis. Adrian dengan beratus matahari senja yang ia abadikan dalam puisi-puisinya, dalam jepretan kameranya dan dalam syair-syair lagu yang selalu ia nyanyikan untukku, walaupun aku kadang tak mengerti apa maksud dari deretan kalimat indah itu. Namun, semuanya cukup untuk membuatku mengerti, senja dan aku sama-sama penting baginya. Dulu.

Pertama kali aku dan Adrian memandang senja bersama adalah saat kami duduk berdua di balkon kamarku yang tepat menghadap tempat sang surya tenggelam, Adrian berkata, "Coba aja kalau kamu abis minum kopi ga suka deg-degan pasti senjanya makin indah deh."

Aku menoleh, lalu menyesap segelas susu coklat hangat digenggamanku kemudian menjawab, "Apa hubungannya senja dan kopi? Kamu kan bilang senja itu indah, kopi kan pahit."

"Itu hubungannya." Dia mengubah posisinya, menghadapku. "Senja itu butuh elemen pahit untuk menyeimbangkan keindahannya. Kayak kamu, butuh aku untuk menyeimbangkan senyum manis kamu."

Semburat merah muncul di kedua pipiku. Aku terkekeh, lalu membalas ocehannya, "Susu tuh ada kaffeinnya ga sih?"

"Memangnya kenapa?"

"Aku deg-degan banget sekarang, ini karena susunya atau gara-gara kamu ya?"

"Bisa aja kamu," katanya lalu memandang senja sambil menyesap kopi.

Aku kembali memandang McFlurry di hadapanku yang mulai mencair pada beberapa bagian, aku menyuapkannya lagi ke dalam mulutku. Sambil mengemut eskrim vanila itu, bibirku mengikuti lagu yang melantun pada telingaku. Lagi-lagi, selera musikku berbeda dari Adrian. Dia amat menyukai band folk yang notabene membawakan lagu-lagu puitis dan sulit dimengerti. Sedangkan aku? Aku menyukai lagu-lagu yang liriknya mudah dimengerti, dan biasanya berasal dari luar negeri. Namun, karena terlampau sering aku mendengar lagu-lagu folk yang sebenarnya puisi bernada itu, akhirnya aku ikut menyukainya juga. Sedikit.

Cukup lama aku beradaptasi dan mencoba memahami arti dari lirik-lirik itu. Kadang aku mencoba bertanya pada Adrian, apa makna dari lagu yang biasa kami dengarkan pada saat ia memboncengku melintasi jalanan menuju sekolah atau pada saat ia mengantarku pulang. Aku teringat headset yang ku pakai saat ini, biasanya hanya aku pasang pada telinga kanan, sedangkan yang kiri, biasanya terpasang pada telinga kiri Adrian. Kedua tanganku, biasanya berada dalam saku jaketnya. Dan kepalaku biasanya menopang pada bahu kirinya. Kami bernyanyi, berbagi cerita dan tertawa ditemani lagu-lagu indie. Tapi, ada satu yang kupahami, tawa Adrian lebih merdu dibanding lagu-lagu folk.

Manisnya hubunganku dan Adrian, ternyata akhirnya bernasib sama dengan McFlurry yang manis namun akhirnya meleleh dan berubah menjadi tak selezat saat ia memiliki bentuk yang apik. Lelehan-lelehan hubunganku dan Adrian membuat kami sama-sama lelah untuk menengadahkan tangan dan menahannya agar tidak jatuh.

Sebulan yang lalu, saat Adrian mengantarku pulang, ia tiba-tiba membelokkan motornya ke McDonald yang biasa kami singgahi hanya untuk menyantap McFlurry. Kami duduk tepat di bangku yang sedang aku duduki saat ini. Waktu itu, Adrian menahan tanganku saat aku berkata bahwa aku akan memesan McFlurry Oreo untukku dan McFlurry Milo untuknya.

"Tunggu, aku mau ngomong," katanya lalu menggenggam tangan kananku. "Kita... Udahan aja ya?"

Aku terdiam. Otakku berusaha mencerna kata-kata yang terlontar dari bibir laki-laki yang sangat amat aku sayangi ini. "Aku... Aku salah?" tanyaku dengan suara bergetar.

"Aku yang salah," jawabnya. "Aku ga bisa sama kamu lagi."

"Tapi... Kenapa?"

"Aku ga bisa bahagiain kamu."

Aku menelan ludah, susah payah aku berkata, "Aku bahagia sama kamu."

"Tapi, kita ga cocok."

Aku terdiam. Mencari-cari apa yang salah dariku. Bibirku bergetar menahan air mata yang sudah siap meluncur dari pelupuk mataku. Perdebatan terus terjadi, kami mempertahankan ego kami masing-masing sampai Adrian meninggikan nada bicaranya dengan berkata, "Aku jenuh! Aku pingin bebas kayak dulu."

Jenuh katanya. Semudah itu dia bilang kalau dia bosan.

"Udah ya... Kita selesai aja?" lanjutnya saat aku tak kunjung memberikan jawaban.

Aku menarik tanganku perlahan dari genggamannya, aku tersenyum sebelum bangkit dari kursi yang aku duduki. Entah mengapa, aku tak mampu menatapnya untuk waktu yang lebih lama lagi. Air mataku meluncur deras, tak ku hiraukan Adrian yang memanggil namaku dari belakang. Setitik kecil di dalam hatiku berharap tangan laki-laki itu terulur menahanku. Namun nyatanya tidak, ia hanya memanggilku dan panggilannya berhenti begitu saja.

Akhirnya, aku menyerah untuk mengerti apa yang ia sukai dari McFlurry Milo yang menurutku rasanya aneh dan tidak saling melengkapi. Aku menyerah untuk mencintai hubungan antara senja dan kopi. Aku menyerah untuk memahami arti lagu-lagu indie. Dan akupun sudah cukup lelah untuk memperjuangkan hati.

Lebih baik aku kembali bersama McFlurry Oreoku, lagu-lagu bernada riang dan juga angin malam ditemani segelas susu coklat. Mencoba memahami diri sendiri pasti akan lebih mudah bukan?

Aku beranjak dari kursi, kemudian mengantri untuk memesan McFlurry Oreo tanpa memandang sekitar karena sekarang aku sibuk memilih lagu. Setelah aku mendapatkan giliran, aku membuka kedua headsetku seraya berkata,

"McFlurry Oreonya satu ya."

Dan tepat saat itu, aku menoleh ke arah kananku. Orang itu, mengucapkan pesanan yang sama denganku. Dan kalian tak akan pernah menduga siapa orang itu.

Bersambung

---

Cerita kedua ini adalah prequel pertama sebelum cerita Lima November, semoga kalian suka ya:)
Kesamaan dan tempat memang disengaja dan sudah mendapat izin dari pihak yang tercantum.
Dilarang menyalin sebagian atau keseluruhan cerita.
Terimakasih untuk Athaya Yumna Gahara yang sudah menjadi ispirasi utama saya dalam menulis cerita ini.

by: @Olaaw_
Jakarta, 17 Desember 2017
18:48
Saat sedang mengingat kamu, Mas.

LiNo (Lima November)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang