Nada untuk Nadi (5)

246 21 4
                                    

Kejujuran dan Janji Zayan

--

Nadi

--

Aku mengetik balasan untuk Zayan, berkali-kali aku mengetik dan menghapusnya lagi. Aku bingung harus menjawab apa.

Zayan Zuhdi: Ini bener kan dari Nadi?

Belum sempat aku menjawab pesan sebelumnya, Zayan sudah mengirimkan pesan lagi. Mau tidak mau aku harus menjawabnya karena sudah terlanjur membaca pesan itu.

Atazra Nadi WN: Iya Zayan, maafin Nadi ya tadi buka tas Zayan.

Zayan Zuhdi: Selesai kelas jangan keluar dulu, Zayan mau ngomong.

Zayan Zuhdi: Makasih juga susu beruangnya.

Atazra Nadi WN: Iya Zayan sama-sama.

Sudah kesekian kalinya aku menengok ke arah jam dinding yang terasa berjalan amat lambat, sebenarnya aku takut untuk bertemu Zayan, tapi aku ingin meluruskan keadaan. Aku tidak ingin terus menerus berdiri dalam diam, aku ingin semuanya kembali seperti semula. Atau mungkin lebih baik kembali pada titik awal di mana aku tidak memiliki perasaan apapun pada Zayan.

Sampai detik ini, aku memang tidak mempercayai Zayan sama sekali. Namnun, perasaan memang tidak bisa dibohongi, aku menyukai caranya menatapku, menyebut namaku, mengirim pesan singkat untukku, intinya aku menyukai cara Zayan mendekatiku. Tapi entahlah, aku memang tidak berbakat untuk menaruh kepercayaan pada orang yang mendekatiku.

Aku selalu berpikir, apa yang mereka suka dari seorang Atazra Nadi Warganegara?

Akhirnya dosen pengampu mata kuliahku mengakhiri kelas hari ini, aku memasukkan binder yang sejak tadi hanya aku gambari hal tidak jelas yang bahkan aku tidak bisa menerjemahkannya. Saat pintu kelas terbuka, aku bisa melihat punggung Zayan yang sedang membelakangi kelasku sambil menopang tubuhnya pada pembatas gedung.

"Zay?" panggilku sambil menepuk pundaknya. Ia membalikkan tubuh lalu mengambil sesuatu dari dalam tasnya.

"Ini, Zayan lupa kemarin."

"Oh iya, makasih," ucapku seraya mengambil jepit rambut yang sempat tertinggal di tasnya beberapa hari yang lalu.

"Abis ini ada matkul lagi?"

"Ada nanti jam dua."

"Sama berarti. Makan siang dulu, bisa? Mau ngomong."

"Iya boleh." Aku mengikuti langkah Zayan sambil menganti ikat rambutku menjadi cepolan menggunakan jepit rambut yang baru Zayan kembalikan tadi.

"Mau makan di mana? Jangan terserah," ucapnya ketika kami sampai di lobby fakultasku.

"Di mana aja."

Ia tertawa kecil, kemudian berusaha mengontrol wajahnya agar terlihat kembali serius. "Ah Nad, kan Zayan bilang jangan terserah."

"Kan emang jawabannya bukan terserah tapi di mana aja," jawabku sambil tersenyum.

"Alah, ngga tahan aku, lucu banget kamu Nad," ucapnya sambil menarik pelan pipi kananku dan tertawa. "Aku ambil motor dulu, kamu tunggu di sini."

Semburat merah muncul dari kedua pipiku, aku menunggu Zayan sambil beberapa kali bertegur sapa dengan teman-temanku.

"Agak jauh dari kampus ngga apa-apa Nad? Kalau deket sini pasti penuh kan jam makan siang."

"Ngga apa-apa," ucapku lalu naik ke boncengan Zayan.

LiNo (Lima November)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang